PERBANDINGAN CERITA
NOVEL ANTEPING TEKAD (Ag. Suharti) DAN NOVEL PENGAKUAN PARIYEM (Linus Suryadi AG)
DENGAN TEORI INTERTEKSTUALITAS RIFATERRE
Disusun guna
memenuhi tugas Ujian Tengah Semester Mata Kuliah Sastra Bandingan
Dosen Pengampu
: Drs. Sukadaryanto, M.Hum.
Oleh
Lasmiyati
(2601413048)
Rombel
2
BAHASA DAN
SASTRA JAWA
FAKULTAS
BAHASA DAN SENI
UNIVERSITAS
NEGERI SEMARANG
2014
Puji sukur penulis panjatkan atas rahmat dan kenikmatan yang telah Allah SWT curahkan sehingga penulis
dapat menyelesaikan tugas makalah analisis penelitian ini dengan baik untuk
memenuhi tugas mata kuliah satrsa bandingan.
Selanjutnya ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Dosen Pembimbing
yang telah membimbing penulis.
Manusia tempatnya luput dan salah, apabila dalam menyususun makalah
penelitian ini terdapat banyak kesalahan baik yang disengaja maupun yang tidak
disengaja, penulis mohon maaf.
Penulis membutuhkan kritik dan saran para pembaca yang bersifat membangun
untuk perbaikan makalah ini selanjutnya. Harapan penulis semoga apa yang
penulis sajikan dapat memberikan manfaat dan menambah ilmu pengetahuan bagi
seluruh pihak yang memebaca.
Semarang, 18 Oktober 2014
Penulis
Sastra merupakan tulisan yang indah (Fananie,
2004:4). Jenis sastra dari zaman ke zaman selalu mengalami perubahan. Hal
tersebut didasarkan pada kenyataan bahwa sistem sastra yang ada bukanlah
merupakan satu sistem yang baku, merupakan suatu sistem yang selalu berubah
sesuai dengan perkembangan zaman dan budaya (Fananie, 2004 :7).
Novel merupakan salah satu bentuk karya sastra
yang dapat memberikan manfaat besar bagi perkembangan sosial dan kehidupan manusia
itu sendiri. Hal ini dikarenakan di dalam suatu novel pasti mengandung amanat
dan makna kehidupan yang dapat memberikan perkembangan dalam kemanusiaan
terutama dalam hal sosialnya. Hal ini sesuai dengan pernyataan yang seringkali
kita dengar bahwa novelis can teach you more about human nature than the
psychologis (Welek, 1993:34).
Novel sebagai karya sastra yang menyodorkan sesuatu yang
menyenangkan, menghibur, dan dalam sifatnya yang beragam dan bermanfaat. Karya
sastra yang berupa novel dapat memberikan pelajaran pendidikan dan pendalaman
moral. Penulis akan menggunakan logika atau perasaannya dalam membuat sebuah
karya sastra . Dalam sebuah novel memiliki unsur teori sastra yang dijadikan
oleh penulis sebagai dasar dalam pembuatan sebuah karya sastra tersebut.
Novel dengan judul “Anteping Tekad” karya Ag. Suharti
dapat dianalisis dengan menggunakan teori intertekstualitas, karena dalam novel
tersebut terdapat perbedaan dan persamaan dalam unsur-nusur intrinsik dan
ekstrinsik yaitu pada penokohan, tema, dan alur. Berdasarkan penjelasan
tersebut, sehingga peneliti menggunakan teori intertekstualitas Rifaterre dalam
menganalisis novel tersebut.
Penelitian ini mengangkat cerita novel Anteping Tekad yang
dikomperasikan dengan cerita novel lainnya yang mempunyai kesamaan dalam
ceritanya. Hal yang melatarbelakangi dilakukannya penelitian ini adalah adanya
banyak kesamaan antara cerita novel Anteping Tekad dan cerita novel lainnya.
Peneliti ingin mengetahui sejauh mana hubungan kedua cerita tersebut melalui
kajian intertekstulitas menurut teori Rifaterre.
Dari uraian di
atas rumusan masalah yang dapat disusun adalah sebagai berikut :
1.
Bagaimana persamaan
tema, penokohan dan alur, yang terdapat pada novel Anteping Tekad karya Ag.
Suharti dengan novel Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi AG.?
2.
Apa perbedaan pemikiran
tokoh pada novel Anteping Tekad dengan novel Pengakuan Pariyem?
3.
Bagaimana penentuan
hipogram dan teks transformasi dari kajian intertekstualitas pada novel Anteping Tekad karya Ag. Suharti
dengan novel Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi AG.?
1.
Dapat mengetahui
persamaan tema, penokohan dan alur, yang terdapat pada novel Anteping Tekad
karya Ag. Suharti dengan novel Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi AG.
2.
Dapat mengetahui
perbedaan pemikiran tokoh pada novel Anteping Tekad karya Ag. Suharti dengan
novel Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi AG.
3.
Dapat menentukan
hipogram dan teks transformasi dari kajian intertekstual pada novel Anteping
Tekad karya Ag. Suharti dengan novel Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi AG.
Manfat
penelitian ini adalah sebagai berikut :
1.
Dapat memberikan
pemahaman mengenai penerapan teori intertekstualitas menurut Rifaterre dalam
komparasi cerita novel.
2.
Memperkaya khasanah
sastra baik sastra nasional daerah maupun sastra nasional.
Penelitian tentang perbedaan dan persamaan struktur
cerita novel “Anteping Tekad” dan “Pengakuan Pariyem” belum ada yang melakukan.
Adapun penelitian yang pernah dilakukan oleh Witanti Suryandari dengan judul
“Fakta dan Sarana Cerita Cerbung Martoloyo kaya Soroni Asikin dan Hubungannya
dengan Babad Tanah Jawi”. Pada skripsinya tahun 2009. Dalam penelitiannya, ia
menggunakan teori analisis struktural yang mengkaji tentang tokoh, alur, plot,
sudut pandang dan gaya bahasa.
Perbedaan penelitian Witanti dengan penelitian ini adalah
penelitian ini hanya mengkaji tema, penokohan dan alur saja. Sedangkan Witanti
mengkaji tokoh, alur, plot, sudut pandang dan gaya bahasa.
Selain penelitian diatas, ada penelitian yang hampir sama
juga oleh Ridwan Haryoko Putro pada skripsinya tahun 2009 yang berjudul “
Struktur Naratif Cerita Dewi Tanjung Sedhayung”. Penelitian ini juga mengkaji
tentang tokoh dan penokohan, perbedaan pada penelitian ini dengan penelitian
Ridwan adalah penelitian Ridwan hanya mengkaji tokoh dan penokohan, sedangkan
dalam penelitian ini mengkaji tema, penokohan dan alur.
Secara luas,
interteks diartikan sebagai jaringan hubungan antara satu teks dengan teks
lain. Secara etimologis berasal dari bahasa latin, textus berarti tenunan,
anyaman, penggabungan, susunan dan jalinan (Ratna, 2012:172).
(Endraswara,2011:201) mengatakan, studi interktekstualitas mempelajari
keseimbangan antara unsur intrinsik dan ekstrinsik teks yang disesuaikan dengan
fungsi teks dimasyarakat. Jadi, studi intertekstualitas merupakan studi yang mempelajari
hubungan atau keterjalinan antara teks yang satu dengan teks lainnya untuk
mengemukakan unsur-unsur dan makna yang terkandung di dalam.
Teori interteks sangat penting dalam memahami
sastra. Tidak ada karya yang asli dalam pengertian yang sesungguhnya. Artinya,
tidak ada karya yang tidak diciptakan dalam keadaan kosong tanpa referensi
dunia lain. Dalam proses interteks, konsep yang memegang peranan penting adalah
hypogram. Menurut Rifaterre, hypogram sebagai struktur pratik,
generator teks puitika yang mungkin merupakan kata-kata tiruan, kutipan,
kompleks tematik, kata-kata tunggal, atau keseluruhan teks. Dalam bukunya
Pradopo, Riffaterre mengungkapkan bahwa hipogram merupakan sajak (teks sastra)
yang menjadi latar penciptaan karya sastra sesudahnya. Pengarang, baik secara
sadar atau tidak menggunakan hypogram untuk melahirkan matriks atau
kata-kata kunci yang pada gilirannya melahirkan model dan serial varian
untuk melahirkan matriks atau kata-kata kunci yang pada gilirannya melahirkan
model dan serial varian. Menurut Riffaterre, matriks, model, dan teks adalah
varian hypogram. Masih dalam bukunya Pradopo, Julia Kristeva mengatakan
bahwa setiap teks sastra itu merupakan mosaik kutipan-kutipan, penyerapan dan
transformasi teks-teks lain.
Dalam perkembangannya intertekstualitas muncul
dengan anggapan para ahli yang berbeda-beda, diantaranya:
1.
Genette
Genette
menggunakan istilah intertekstualitas bagi kehadiran teks lain di dalam suatu
teks, antara lain cuplikan yang paling sering ditemukan dalam karya, misalnya
plagiat, yaitu hubungan yang sangat nyata tetapi seringkali tak diakui atau
alusi , yaitu hubungan yang tidak begitu eksplisit. Suatu bentuk hubungan intertekstual
yang lain adalah pengambilan kembali salah satu unsur karya yang terdahulu.
Misalnya satu tokoh dalam novel trilogi. Dari segi metodologis, teks-teks yang
“dipinjam” itu tidak perlu disoroti. Yang perlu dianalisis adalah bagaimana
“pinjaman” itu terintegrasi di dalam tempat yang baru, dan apakah maknanya
tetap atau berubah (Reuter, 1991:130-131).
2.
Rifaterre
Interteks adalah keseluruhan teks yang dapat
didekatkan dengan teks yang ada dihadapan kita, keseleruhan teks yang dapat
ditemukan dalam pikiran seseorang ketika membaca suatu bagian teks. Jadi,
interteks adalah korpus yang tak terbatas. Memang,
bisa saja ditemukan dibagian awalnya: itu adalah teks yang membangkitkan
asosiasi pikiran segera setelah kita mulai membaca. Sebaliknya, jelas bahwa
tidak akan terlihat bagian akhirnya. Banyak tidaknya asosiasi pikiran ini
tergantung dari luasnya pengetahuan budaya si pembaca. Pengenalan interteks
yang sebelumnya timbul dari sejarah pengaruh, warisan sastra, dari penelitian
tradisional tentang sumber, suatu tradisi yang masa kini kurang dihargai.
Pengenalan tentang interteks yang datang kemudian timbul dari sejarah keabadian
suatu karya sastra (Rifaterre dalam Okke Zimar, 1991).
3.
Yulia Kristeva
Sementara itu Yulia Kristeva, tokoh kritikus sastra yang pertama-tama
menggunakan istilah intertekstualitas dalam bukunya Recherces pour une
semanalyse (1969) mengemukakan gagasan yang tidak jauh berbeda dari apa yang
disebut intertekstualitas oleh Rifaterre. Menurut pendapatnya, ada tiga tema
utama yang menyebabkan adanya hubungan intertekstualiatas antara suatu teks
dengan teks lain:
1.
Bahasa sastra
adalah satu-satunya kode yang tidak terbatas
2.
Teks sastra adalah
suatu realitas berwajah ganda penulisan-pembacaan
3.
Model paragramme
Pendekatan
penelitian yang digunakan pada penelitian ini ada dua pendekatan, yakni
pendekatan metodologis dan pendekatan teoritis. Pendekatan metodologis yang
digunakan adalah pendekatan objektif, yaitu pendekatan yang memandang karya
sastra sebagai dunia otonom yang dapat dilepaskan dari dunia pengarang dan
latar belakang sosial budaya zamannya sehingga karya sastra dapat dianalisis
berdasarkan struktur, dengan kata lain karya sastra dipahami berdasarkan segi
intrinsik. Pada pendekatan teoritis yang digunakan adalah menggunakan teori
Rifaterre. Pendekatan yang digunakan Rifaterre adalah keseluruhan teks yang dapat ditemukan dalam pikiran seseorang ketika
membaca suatu bagian teks. Jadi, interteks adalah korpus yang tak terbatas. Memang, bisa saja ditemukan dibagian awalnya: itu adalah
teks yang membangkitkan asosiasi pikiran segera setelah kita mulai membaca.
Sebaliknya, jelas bahwa tidak akan terlihat bagian akhirnya. Banyak tidaknya
asosiasi pikiran ini tergantung dari luasnya pengetahuan budaya si pembaca.
Teks sastra yang digunakan pada peneltian ini adalah novel Anteping Tekad yang
dikomparasikan dengan novel Pengakuan Pariyem.
Dalam penelitian ini, data yang diambil adalah cerita novel “Anteping
Tekad” dengan ” Pengakuan Pariyem”.
Sumber data yang digunakan yaitu
sumber data tulis yang diperoleh dari observasi pustaka yaitu pada novel
“Anteping Tekad” yang dikarang oleh Ag. Suharti dengan “Pengakuan Pariyem” yang
dikarang oleh Linus Suryadi AG.
Teknik yang digunakan untuk mengumpulkan data pada penelitian ini adalah
teknik baca. Dengan teknik baca, penulis membaca novel “Anteping Tekad” dengan
“ Pengakuan Pariyem” yang dijadikan sebagai data penelitian.
Dalam
pengumpulan data digunakan teknik catat. Pencatatan merupakan hal yang sengaja
dilakukan oleh peneliti supaya tidak merasa kesulitan dalam mengumpulkan data.
3.4.Teknik Analisi Data
Teori yang
digunakan untuk menganalisis cerita novel “Anteping Tekad” dan “Pengakuan
Pariyem” adalah teori Intertekstualitas oleh Rifaterre. Teknik analisis data
dilakukan dengan mengaitkan persamaan dan perbedaan dalam cerita yaitu tema,
penokohan, dan alur
Tema adalah
secara etimogis kata tema berasal dari istilah meaning, yang berhubungan arti, yaitu
sesuatu yang lugas, khusus, dan objektif. Lebih jauh Sudjiman memberikan
pengertian bahwa tema merupakn gagasan, ide atau pikiran utama yang mendasari
suatu karya sastra (1992:52). Dari sebuah karya sastra adakalanya dapat
diangkat suatu ajaran moral atau pesan yang ingin disampaikan pengarang .
Penokohan
adalah cara penggambaran tentang tokoh melalui perilaku dan pencitraan. Panuti
Sudjiman memberikan definisi penokohan adalah penyajian watak tokoh dan
penciptaan citra tokoh (Suroto, 1989:92-93).
Alur adalah
struktur rangkaian kejadian dalam cerita yang disusun sebagai interrelasi
fungsional yang sekaligus menandai urutan bagian-bagian dalam keseluruhan karya
fiksi. Stanton (dalam Nurgiyantoro, 2000:113) mengemukakan bahwa alur atau plot
adalah cerita yang berisi urutan kejadian, namun tiap kejadian itu hanya
dihubungkan secara sebab akibat, peristiwa yang satu disebabkan atau
menyebabkan peristiwa lain.
·
Persamaan Tema dalam novel Anteping Tekad dengan Pengakuan Pariyem
Tema dalam
novel Anteping Tekad dan Pengakuan Pariyem sama yaitu perjuangan seorang gadis
desa dalam menjalani liku-liku kehidupan.
Dilihat pada kutipan novel Anteping Tekad:
“Wis meh setengah taun aku ana
ngomah. Uripku mung kebak kasepen, panalangsa lan tanpa pangarep-arep. Saprene
durung ana owah-owahane apa-apa. Isih ajeg bae, esuk jam lima tangi, terus
numpangake ceret, adus, nyapu, umbah-umbah, masak, mangan, nyetlika, lan
sapanuggalane. Kabeh pagaweyan sing saben dina kudu ditindakake, nanging uga
sing nyebahi, monoton lan ora muwuhi kapinteran apa-apa. Menawa bocah-bocah
liyane padha bisa nyambi sinau njait, ngetik utawa mbatik, uripku tetep wae,
ora ana selingane. Ora let suwe ana suwara slenthinng-slenthing, bocah wadon
umure 16 taun ana desa wis dipandeng gedhe, wis pantes enggal kudu di
omah-omahake. Aku sebel krungu rerasan sing mengkono iku. Wekasane ibu dhawuh marang aku, manawa aku wis dilamar
dening Kalijo, anake wong sugih, manut ukurane wong desa. Kalijo wis duwe bojo,
nanging wis dipegat. Resmine bae lagi rabi ping pindho, nanging nyatane embuh
wis kaping pira wong iki nganggo dolanan bocah-bocah wadon. Jam papat esuk aku
wis ninggal omah. Ing bengine tekadku wis golong, aku suthik omah-omah karo
wong kaya Kalijo. Weruh wonge bae sengitku wis ora ilok. Tindakakne
sawenang-wenang ngendelake dadi anake wong sugih”.
Tokoh pergi menuju Bogor dapat dilihat dari kutipan novel:
“Luhku enggal tak usapi, aku
mlebu maneh ing setasiun, terus tuku karcis menyang Bogor. Gek ana Bogor, sapa
sing arep ndak jujug. Peputoning tekad, menawa wis kepepet, aku arep njujug
kantor polisi lan arep blaka apa saanane. Nalika sepur wis tekan Bogor , watara
jam 9 bengi, kanthi lungkrah lan bingung, aku metu saka setasiun. Sajegku
durung tau ngambah kutha Bogor, tepungan apadene sanak sadulur siji bae ya ora
ana. Saking buneg lan susahing uripku, lakuku ora ngati-ati, mak bruk aku
nubruk uwong. Bareng ndak waspadakake, sing ndak tubruk mau jebul sawijining
kenya manis. Gita-gita aku njaluk pangapura. Bocah mau mesem lan kandha ora
dadi apa. Wangune bebudhene mBokmanawa bae gelem aweh pitulungan menyang aku,
ing samangsa wis ngerti marang karepotanku. Nanging mesthi bae aku ora bisa
kandha apa sanyatane. Mula aku banjur ngarang-ngarang. Ing batin aku ya
rumangsa sungkan, kapeksa goroh. Aku crita, manawa aku lagi nggoleki sadulurku,
nanging ora bisa ketemu, jalaran wis pindah panggonan. Kenya mau mangsuli,
manawa mangkono angel banget golek-golekane. Mbokmanawa bae weruh aku kentekan
akal, dheweke tuwuh rasa welase lan banjur nari aku, apa aku gelem diajak
menyang omahe. Aku rindhik asu digitik, sumrinthil diajak. Bocahe banjur ngawe
dhokar. Nalika wis mlebu pekarangane omahe, lan terus njujuk ana ing mburi,
sikilku kaya-kaya abot ndak anggo njangkah. Isinku ora karuwan, ditebus duwit
sewu ora kena. Atiku ndak tatag-tatagake. Tujune pangrengkuhe wong sak omah
pada becik. Wiwit saka Bapak lan Ibu Dibya, tekan para putra lan nganti tekan abdi-abdine.
Sapira gedhening panuwunku marang kaluwarga
Sudibya mau, sing wis kersa ngluberake kabecikane marang aku. Wangune
wiwit ketemu karo kaluwarga Sudibya, nasibku wiwit katon padhang. Durung nganti
saminggu aku nderek ana kono, wis ana priyayi sing mbetahake abdi...”
Hingga tokoh menjadi pembantu di keluarga Ny.Sutarno di Bogor, dapat
dilihat dari kutipan novel:
“Esuk-esuk aku kudu wis nyawisake
susu 4 gelas, godhogan endhog pitik 4, roti 4 tangkep isi mentega lan sele,
kanggo dhahar sarapane priyayi njero. Sawise iku, nganakake sarapan kanggo para
abdi. Jam 12 awan tata meja, nyawisi dhahare pak Sutarno, amarga isih kondur
nyambut damel maneh. Jam papat sore nyawisi unjukan kopi susu utawa soklat karo
nyamikan.”
Ending dari liku-liku perjalanan hidupnya menikah dengan Sundoro dapat
dilihat pada kutipan novel:
“E dene wekasane sakabehing ruwet
renteng bisa diudari. Ndara ajeng Indiah kang setya, bisa klakon dadi raden ayu
Sundoro”.
“Nalika semanten Indiah saweg
blanja wonten toko lan lajeng pinanggih kaliyan Suwarni. Sasampunipun mantun
gumunipun, sumerep Indiah dados Ny. Sundoro, kalih-kalihipun lajeng sami
rerangkulan, nelakaken ing bingahipun, saged sami pinanggih malih”.
Dilihat pada kutipan novel Pengakuan Pariyem:
“ PARIYEM, nama saya
Lahir di Wonosari Gunung Kidul
pulau Jawa
tapi bekerja dikota pedalaman
Ngayogyakarta
Umur saya 25 sekarang
-tapi nuwun sewu
tanggal lahir saya lupa
Tapi saya ingat betul weton saya
Wukunya kuningan
di bawah lindungan bethara Indra
Jumat wage waktunya
Ketika hari bangun fajar”
Bukti perjuangan tokoh sebagai pembantu di nDoro Kanjeng Cokro Sentono,
dilihat dari kutipan novel:
“ Ya, ya, Pariyem saya
Maria Magdalena Pariyem
lengkapnya
“Iyem” panggilan sehari-harinya
Dari Wonosari Gunung Kidul
Sebagai babu nDoro Kanjeng Cokro
Sentono
Di nDalem Suryomentaraman
Ngayogyakarta
Saya sudah terima kok
Saya lega lila
Kalau memang sudah nasib saya
Sebagai babu, apa ta repotnya?”
Hingga tokoh terjebak dalam seks bebas dengan anak majikannya yaitu Raden
Ario Atmojo, dilihat dari kutipan novel:
“ketika itu rumah lagi kosong
Sedang ditinggal pergi plesir
Ke kebun binatang Gembira Loka
Naik andhong-sekeluarga-
Mereka mau nonton Gombloh
Itu lho kuda Nil dari Mesir
Yang mengajak guyon sama
pawangnya
Sampai diangkut ke rumah sakit
pula
Kakinya remuk, tanpa bentuk
Pengunjung pun berbondong-bondong
Berbondong-bondonglah pengunjung
Datng kepengin menyaksikan
Tapi Den Bagus Ario tidak ikut
Lagi tak enak badan alasanya
Tinggal saya dan dia tinggal di
rumah
-berdua
Lha, tidak salah lagi
-betul, iya
Dia masih malu-malu
Memang dia clingus banget, kok
Tapi, sorot matanya tak bisa
menipu
Saya kenal betul sama hasrat
lelaki
Yang timbul dibalik
gerak-geriknya
Pendeknya, dia kasmaran sama saya
Selagi saya membersihkan kamarnya
Tiba-tiba saya direnggut dari
belakang
O, Allah saya kaget setengah
mati, mas
Sekujur tubuh saya digrayanginya
Pipi, bibir, penthil saya dingok
pula
Paha saya diraba-raba
Diraba-raba paha saya
Alangkah bergidik bulu kuduk saya
Alangkah merinding urat saraf
saya
Tapi saya pasrah saja, kok
Saya lega lila
Tanpa berkata barang sekecap
Peristiwa itu pun terjadilah
Jagad gemetar memangku kami
Dalam cahaya matahari pagi”
·
Penokohan dalam novel Anteping Tekad dan Pengakuan Pariyem
Tokoh dalam
novel Anteping Tekad dan Pengakuan Pariyem adalah sama-sama seorang gadis desa
yang berasal dari Yogyakarta pergi merantau dan bekerja sebagai babu
Dilihat pada kutipan novel Anteping Tekad:
”Manut kandhane jare saka Yogja. Mbokmanawa
nek didhidhik besuk bisa nyulihi Tinah”. Jare asale saka desa, tur adoh saka kutha.
Nanging diarani kikuk banget kok ya ora. Kaya-kaya yen dikandani ya terus bisa
nyandak. Tur ya pethel ing gawe, sathithik-thithik ya wis ngerti tulis. Esuk-esuk
aku kudu wis nyawisake susu 4 gelas, godhogan endhog pitik 4, roti 4 tangkep
isi mentega lan sele, kanggo dhahar sarapane priyayi njero. Sawise iku,
nganakake sarapan kanggo para abdi. Jam 12 awan tata meja, nyawisi dhahare pak
Sutarno, amarga isih kondur nyambut damel maneh. Jam papat sore nyawisi unjukan
kopi susu utawa soklat karo nyamikan.”
Dilihat pada kutipan novel Pengakuan Pariyem:
“ Ya, ya, Pariyem saya
Maria Magdalena Pariyem
lengkapnya
“Iyem” panggilan sehari-harinya
Dari Wonosari Gunung Kidul
Sebagai babu nDoro Kanjeng Cokro
Sentono
Di nDalem Suryomentaraman
Ngayogyakarta
Saya sudah terima kok
Saya lega lila
Kalau memang sudah nasib saya
Sebagai babu, apa ta repotnya?”
·
Alur dalam novel Anteping Tekad
Alur yang digunakan dalam novel Anteping Tekad dan
Pengakuan Pariyem adalah teknik flashback atau sorot balik.
Dilihat pada kutipan novel Anteping Tekad:
“Aku lan kanca-kancaku wis padha
tampa ijazah. Racake kanca-kanca padha bungah lan padha upyek crita, padha arep
nerusake sekolah. Ana sawatara sing arep nganakake rame-rame, marga saka bungahe
lan bisa nerusake pasinaone. Ana maneh sing kudu enggal-enggal mangkat
Semarang, Surabaya utawa Jakarta, marga arep padha nerusake sekolah bidan. Aku
sebenere keduwung, dene ora wingi-wingi melu kanca-kanca ngajokake lamaran,
ngleboni sekolah juru rawat. Bocah-bocah padha katon seneng-seneng lan
marem-marem. Mung aku dhewe sing nangis ing batin. Bocah-bocah iku padha duwe
gegayuhan arep nerusake pasinaone. Balik aku wis ora ana maneh kang kena
dirembug. Ing sadurunge aku wis weruh, yen uripku wis ditetepake, kudu ndhuwel
ana ngomah. O nasib... sekolah kudu mandheg tengah ndalan, jalaran kesandhung
ing kamiskinan. Aku kapeksa kudu gelem dikungkung ana ngomah lan saben dina
nggetuni apesing nasib. Wis meh setengah taun aku ana ngomah. Uripku mung kebak
kasepen, panalangsa lan tanpa pangarep-arep. Saprene durung ana owah-owhane
apa-apa. Isih ajeg bae, esuk jam lima tangi, terus numpangake ceret, adus,
nyapu, umbah-umbah, masak, mangan, nyetlika, lan sapanuggalane. Kabeh pagaweyan
sing saben dina kudu ditindakake, nanging uga sing nyebahi, monoton lan ora
muwuhi kapinteran apa-apa. Menawa bocah-bocah liyane padha bisa nyambi sinau
njait, ngetik,utawa mbatik, uripku tetep wae, ora ana selingane”. Ora let suwe
ana suwara slenthinng-slenthing, bocah wadon umure 16 taun ana desa wis
dipandeng gedhe,, wis pantes enggal kudu di omah-omahake. Aku sebel krungu
rerasan sing mengkono iku. Wekasane ibu
dhawuh marang aku, manawa aku wis dilamar dening Kalijo, anake wong
sugih, manut ukurane wong desa. Kalijo wis duwe bojo, nanging wis dipegat.
Resmine bae lagi rabi ping pindho, nanging nyatane embuh wis kaping pira wong
iki nganggo dolanan bocah-bocah wadon. Jam papat esuk aku wis ninggal omah. Ing
bengine tekadku wis golong, aku suthik omah-omah karo wong kaya Kalijo. Weruh
wonge bae sengitku wis ora ilok. Tindakakne sawenang-wenang ngendelake dadi
anake wong sugih bab jejodohan, aku dhewe sing ngurusi, ora ana wong liya sing
bisa meksa. Iki mung mligi dadi hake wong sing arep nglakoni. Mesti bae ing
dhasaring atiku, aku ya kepengin bisa enggal omah-omah. Saben bocah wadon mesthi
duwe gagasan kang mengkono. Nyenyuwun marang kang Maha Kuwasa supaya enggal
diparingi jodho. Anuju sawijining dina bisa ketemu karo priya, sing dadi
cocoging ati, sawijining pemudha sing pantes disuwitani, dipasrahi pati uripe,
becik bebudene, kena dipercaya lan duwe rasa tanggung jawab. Apa salah, senajan
aku anake wong ora duwe, iya kurang sesurupane, ngarep-ngarep bisa diwengku
dening sawijining priya sing pinter, pangkat lan sembada rupane? Apa jenenge
kleru yen aku ngemohi Kalijo, sing ora tahu dadi idham-idhamaning atiku.
Mbokmanawa bapak ibu kagungan pamanggih, manawa aku gelem karo Kalijo, aku
bakal bisa melu ngenthengake sesanggane wong tuwa lan melu mikir adhi-adhiku. Ing
endi-endi wis kabukten, manawa wong sugih mono, mantune iya anake wong sugih.
Dene ana wong sugih nganti gelem ngepek mantu anake wong ora duwe, iki sejatine
ora metu saka prenthuling ati sing eklas lan rila, nanging mung nuruti karepe
anak. Ing tembe mburine, aku mesti mung bakal diundhat-undhat nganggo
tetembungan sing bakal nyiksa uripku ing sateruse.
Ing sakawit aku arep njujug
ndaleme bu Pringgo, tilas guruku biyen. Niyatku arep golek pegaweyan. Nanging
aku banjur kelingan, yen wong nyambut gawe ana jaman saiki lan urip ana ing
kutha gedhe, blanjane ora cukup dipangan sesasi. Aku luwih ketarik marang
kandhane sijining kancaku, manawa ing Kebayoran Baru lan ana ing Bogor, akeh
para hartawan padha merlokake tenaga terpelajar kanggo njaga anak-anake, utawa
dadi juru masak. Blanjane maremake, panagn lan sandhang dijamin. Wong iki yen
wis kapepet sok wani nekad. Rehning aku wis kebacut oncat saka omah, lha
kepriye maneh. Aku sok maca, ana ing negara kulonan, wis jeneng kaprah, para
mahasiswa padha gelem nindakake pegawean kasar, sebab perlu kanggo nyukupi
kaperluaning urip lan sianune. Kiraku aku ora ngasorake drajatku banget-banget
manawa banjur dadi pengasuh utawa dadi koki. Kekencenganing tekadku wis mantep.
Aku banjur tuku karcis medhun setasiun Gambir. Nanging ora kanyana-nyana,
bareng aku wis tekan Jakarta lan lagi bae metu saka setasiun Gambir, aku
kepethuk Istinah, tilas kancaku sekolah. Dhek ana kelas papat. Kabare bojone
sawijining dokter. Kandhane, perlu arep methuk ibune sing rawuh saka Madiun.
Aku diampirake menyang omahe lan diaajak bebarengan nunggang motore, menyang
Kabayoran Baru. Atiku wis ora kena ndak tata, senajan ing lair kanthi tatag aku
ngucapake panarima lan kandha, rehning aku ya dipethuk, aku mung njaluk alamate
lan liya dina arep merlokake tilik. Wangune Is ngandel marang gunemku sing
goroh mau. Bojone katon ngrogoh sak lan
banjur ngulungake kartu alamate. Is ngrangkul lan ngambungi aku, dene doktere
la ibune mara tuwa padha mesem ngawasake. Saungkure Is, luhku wiwit brebel-brebel,
ora kena ndak sayuti maneh, jalaran saka gedhening panalangsaku. O awak...
awak... wangune durung paja-paja enggonmu kudu isih ngalami sangsaraning
lelakonmu. Luhku enggal tak usapi, aku mlebu maneh ing setasiun, terus tuku
karcis menyang Bogor. Gek ana Bogor, sapa sing arep ndak jujug. Peputoning
tekad, menawa wis kepepet, aku arep njujug kantor polisi lan arep blaka apa
saanane. Nalika sepur wis teka Bogor , watara jam 9 bengi, kanthi lungkrah lan
bingung, aku metu saka setasiun. Sajegku durung tau ngambah kutha Bogor,
tepungan apadene sanak sadulur siji bae ya ora ana. Saking buneg lan susahing
uripku, lakuku ora ngati-ati, mak bruk aku nubruk uwong. Bareng ndak
waspadakake, sing ndak tubruk mau jebul sawijining kenya manis. Gita-gita aku
njaluk pangapura. Bocah mau mesem lan kandha ora dadi apa. Wangune bebudhene
mBokmanawa bae gelem aweh pitulungan menyang aku, ing samangsa wis ngerti marang
karepotanku. Nanging mesthi bae aku ora bisa kandha apa sanyatane. Mula aku
banjur ngarang-ngarang. Ing batin aku ya rumangsa sungkan, kapeksa goroh. Aku
crita, manawa aku lagi nggoleki sadulurku, nanging ora bisa ketemu, jalaran wis
pindah panggonan. Kenya mau mangsuli, manawa mangkono angel banget golek-golekane.
Mbokmanawa bae weruh aku kentekan akal, dheweke tuwuh rasa welase lan banjur
nari aku, apa aku gelem diajak menyang omahe. Aku rindhik asu digitik,
sumrinthil diajak. Bocahe banjur ngawe dhokar. Nalika wis mlebu pekarangane
omahe, lan terus njujuk ana ing mburi, sikilku kaya-kaya abot ndak anggo
njangkah. Isinku ora karuwan, ditebus duwit sewu ora kena. Atiku ndak
tatag-tatagake. Tujune pangrengkuhe wong sak omah pada becik. Wiwit saka Bapak
lan Ibu Dibya, tekan para putra lan nganti tekan abdi-abdine. Sapira gedhening
panuwunku marang kaluwarga Sudibya mau, sing wis kersa ngluberake kabecikane
marang aku. Wangune wiwit ketemu karo kaluwarga Sudibya, nasibku wiwit katon
padhang. Durung nganti saminggu aku nderek ana kono, wis ana priyayi sing
mbetahake abdi...
Sakmene dhisik olehku ngiseni
buku cathetanku. Liya dina disambung maneh. Aku isih ana tugas akeh, kudu
nyinauni ilmu beternak ayam, karangane dr. Sena Satraamijoyo, lan
sapanunggalane.”
Dilihat pada kutipan Pengakuan Pariyem:
“Masa bocah saya datang
Kembali mengusik ingatan
Dan kembali mengajak dolan
Sebagai kawan sepermainan
Sebagai anak Ledhek dan Pesindhen
Laupan simbok sudah veteran
Tapi mana saya tak bisa nembang”
“Lihatlah bocah-bocah berkalang
Ingkrak dan berpegangan tangan
Dengan selendangnya dipinggang
Sarungnya dikalungkan leher
Juga yang memanjat pohon
Wajah-wajah murni, wajah-wajah
suci
Mengayun-ayunkan jagad Wonosari
Dan dengarkanlah saya nembang
Jalak-jalak pita”
“kembali bocah-bocah buyar
Begitu tembang berakhir
Dan tepuk tangan pun gempar
Pertanda permainan bubar
Rep sindhen: alam pun hening
Perlahan kegelatan hadir”
“Saya ulur benang panjang
Saya ulur kenangan masa silam
Bagaikan air kolam mengalir
Mencapai titik perbatasan
Bersih, tenang dan lengang
Mengapungkan daun-daunan”
·
Pemikiran Tokoh pada novel Anteping Tekad adalah bermoral dan mempunyai
pikiran untuk maju tidak berpasrah sebagai pembantu
Dapat dilihat pada kutipan novel:
“Awit wis terang, aku ora bakal
dadi abdi seteruse. Iki bae manawa bapak ibu lan sanak sadulur ku padha priksa,
aku mesthi wis diparani, didhawuhi bali, sebab gawe wirang. Manawa wis bengi
aku sok klisikan, ora bisa enggal turu, mikir kepriye kaanane uripku ing tembe.
Gegayuhanku warna-warna, yen wis cukup anggonku keklumpuk dhuwit, aku arep
nyuwun metu lan golek gawean ana Jakarta. Banjur nerusake sinau ana ing SMA.
Aku yakin, ana Jakarta aku mesthi bakal bisa oleh gaweyan. Sokur ana ing kantor
Pamarintah, orane iya ana ing swasta. Direwangi prihatin lan nyambut gawe
kanthi sregep, mantep, mbokmanawa mbesuk bakal bisa kecekel apa sing dadi
jangkaku. Ora kaya nalika aku isih urip ana ing desa, tanpa pengalaman, tanpa
wawasan, tanpa bimbingan, tanpa srana lan dhuwit”.
·
Pemikiran Tokoh pada novel Pengakuan Pariyem adalah tidak bermoral dan
selalu berpasrah dengan prinsip “lega
lila” sebagai pembantu
Dilihat pada kutipan novel:
“ Ya, ya, Pariyem saya
Maria Magdalena Pariyem
lengkapnya
“Iyem” panggilan sehari-harinya
Dari Wonosari Gunung Kidul
Sebagai babu nDoro Kanjeng Cokro
Sentono
Di nDalem Suryomentaraman
Ngayogyakarta
Saya sudah terima kok
Saya lega lila
Kalau memang sudah nasib saya
Sebagai babu, apa ta repotnya?”
“ Lha, saya tidak diperkosa dia,
kok
Saya meladeni dengan suka rela
Rasa tulus ikhlas lambarannya
Bahkan kalau saya sudah gatal
Den Baguse saya bujuk, saya goda
Dia pun menyambut penuh
kegairahan
O, Allah, bikin saya ketagihan!”
Anteping Tekad merupakan hipogram dari novel
Pengakuan Pariyem, dan novel Pengakuan Pariyem merupakan transformasi dari
novel Anteping Tekad. Hipogram dan teks transformasi tersebut dapat dilihat
dari tahun terbitan. “Anteping Tekad Pada Tahun 1975” sedangkan “ Pengakuan
Pariyem tahun 1981”.
Dalam novel Anteping Tekad dan novel Pengakuan
Pariyem mempunyai kesamaan, yaitu persamaan tema, penokohan dan alur seperti
yang sudah disebutkan diatas. Ada pula perbedaannya, yaitu pada pemikiran tokoh
perempuan pada kedua novel, tokoh perempuan yang diceritakan mempunyai
perbedaan pola pikir dan tingkah lakunya yang sudah disebutkan diatas. Selain
itu terdapat pengaruh dan bukti bahwa adanya hipogram dan teks transformasi.
Novel Anteping Tekad merupakan hipogram dari novel Pengakuan Pariyem, dan novel
Pengakuan Pariyem merupakan transformasi dari novel Anteping Tekad.
Dari penelitian ini kita bisa belajar dalam
penulisan karya ilmiah yang baik dan benar. Novel dapat memberi manfaat pada perkembangan
sosial dan pendidikan. Kurangnya kesempurnaan dalam karya ilmiah ini penulis
mengharapkan saran yang bersifat membangun dari pembaca.
Suharti, Ag.1975. Anteping Tekad. Jakarta: Balai Pustaka
Suryadi AG, Linus.1981. Pengakuan Pariyem. Jakarta :Kepustakaan Populer
Gramedia
Zaimar, Okke Kusuma Sumantri.2014. Semiotika Analisis Karya Sastra. Depok:
Komodo Books
(didownload
tanggal 10 Oktober pukul 10.30 WIB)
(didownload pada tanggal
10 Oktober pukul 10.30 WIB)
(didownload pada tanggal
09 Oktober pukul 11.30 WIB)
(didownload pada tanggal 09 Oktober pukul 11.30 WIB)
hhtp//desisusanti16.blogspot.com/2012/04/umsur-unsur-intrinsik-dalam-cerita.html
(didownload pada tanggal
09 Oktober pukul 11.30 WIB)
Seorang gadis desa, putri dari
salah seorang pensiunan asisten wedana di Yogyakarta. Irah alias Indiah mengalami
perjalan hidup yang berliku-liku. Dimulai dengan ketidak beruntungannya dalam
menghadapi hidup setelah lulus SMP hingga perjodohanya dengan duda tukang kawin
cerai, yang membawanya berani meninggalkan rumah ke kota besar Jakarta
dan mengabdi sebagai pembantu di Bogor. Mengabdikan diri sebagai rewang
keluarga Sutarno.
Indiah yang mulai menikmati
kehidupanya sebagai pembantu menjadi tidak tentram akibat perbuatan tokoh Sukri
teman Sundoro. ketika Indiah menyajikan minuman. Demikian juga pada
peristiwa ketika Indiah didekati oleh Gimin, teman sesama pembantu.
Pergolatan batin dalam diri Indiah apa yang harus
dilakukan dengan surat Sukri, Lamaran Gimin, sedangakn dia sudah mulai
mencintai Sundoro majikanya yang sudah bertunagan dengan Utami. Tanpa disadari
ternyata rasa cintanya terhadap Sundoro semakin besar. Hal itu membuat Indiah
semakin kacau apalagi setelah tahu bahwa orang yang dicintainya setelah lulus
kuliah akan seger menikah dan melanjutkan pendidikanya di luar negeri. Rasa
sedih akan kehilangan orang yang dicintai membuat Indiah merasa putus asa.
Namun ternyata Sundoro, majikannya juga mempunyai rasa yang sama kepada Indiah,
dan secara terang-terangan mengakui cintanya. Hal ini membuat Ny.Sutarno marah
dan mengusir Indiah dari rumahnya. Setelah diusir Indiah bertemu dengan
Istinah, teman SMP nya yang telah dipersunting oleh dokter. Dan dipekerjakan
sebagai pengasuh anakanya. Ia juga berhasil melanjutkan sekolahnya di bangku
SMA. Pada kesempatan itu ia kembali bertemu dengan Suwondo dan Sukri yang
kembali ingin meminangnya namun keduanya ditolak oleh Indiah.
Hingga pada akhirnya ada kabar bahwa Utami Istri Sundoro
meninggal saat melahirkan, dan akhirnya Sundoro menjemput Indiah dan
mempersuntingnya.
Pariyem adalah seorang pembantu yang bekerja
pada Ndoro kanjeng Cokro Sentono di kraton Ngayogyakarta. Ia berasal dari
Wonosari Gunung Kidul, karena Pariyem beragama Katolik maka ia diberi nama
baptis Maria Magdalena. Tetapi Pariyem lebih sering dipanggil “Iyem”. Sebagai
seorang pembantu, Pariyem sangat patuh pada majikannya. Ia menerima dengan
lapang apa yang ia dapat dan ia miliki Pariyem merasakan hidup ini mengalir apa
adanya. Pariyem lahir dari seorang bapak yang bernama Karso Suwito dan ibunya
bernama Parjinah. Bapak Pariyem merupakan seorang pemain ketoprak yang ulung
paguyuban ketropaknya sangat laris dizaman ia masih muda dahulu. Sedangkan ibu
Pariyem merupakan seorang “ledhek” dan seorang sinden. Dia sangat mahir
menari tayub dan nembang jawa. Tapi pada zaman G-30-S/PKI paguyuban ini tidak
bisa diteruskan karena banyak anggotanya yang diduga anggota PKI dan di tangkap
oleh polisi.
Pariyem adalah seorang pembantu yang mempunyai moto
hidup “lega lila”. Ini terbukti saat diajak tidur oleh raden Bagus
Ario Atmojo putra kanjeng Cokro. Ia hanya pasrah dan rela ditiduri oleh putra
tuannya walaupun ini bukan yang pertama bagi Pariyem karena dahulu Pariyem
pernah diajak tidur oleh mas Paiman (Kliwon) dan sekarang telah pergi bekerja
di Jakarta.
Saat rumah sedang sepi Raden Ario sering mengajak
Pariyem tidur begitu juga saat Pariyem kepingin ia mengajak Raden Ario. Tak
lama berselang Periyem hamil dan hal ini diceritakan pada Ndoro Wiwit
Setiowati yang merupakan adik dari Raden Ario. Kemudian Ndoro Wiwit
menceritakan hal tersebut pada ayahnya yakni Kanjeng Cokro Sentono. Pada malam
hari keluarga dikumpulkan untuk membahas masalah yang dialami oleh Pariyem dan
Raden Ario.
Keputusan Kanjeng Cokro sangat bijak, ia tidak
mengusir Pariyem tetapi menyuruh Pariyem untuk pulang selama setahun dan
kembali bekerja setelah anaknya lahir. Kanjeng Cokro memberi nama anak tersebut
Endang Sri Setianingsih. Saat bayinya berumur setahun Pariyem harus sudah
bekerja lagi di ndalem kraton. Begitulah setiap minggu Pariyem harus
bolak-balik Wonosari Yogyakarta demi anaknya Endang Sri Setianingsih.
No comments:
Post a Comment