Tuesday, December 2, 2014



PERBANDINGAN CERITA NOVEL ANTEPING TEKAD (Ag. Suharti) DAN NOVEL PENGAKUAN PARIYEM (Linus Suryadi AG) DENGAN TEORI INTERTEKSTUALITAS RIFATERRE

Disusun guna memenuhi tugas Ujian Tengah Semester Mata Kuliah Sastra Bandingan
Dosen Pengampu : Drs. Sukadaryanto, M.Hum.



Oleh
Lasmiyati
(2601413048)
Rombel 2



BAHASA DAN SASTRA JAWA
FAKULTAS BAHASA DAN SENI
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
2014

Puji sukur penulis panjatkan atas rahmat dan kenikmatan yang  telah Allah SWT curahkan sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas makalah analisis penelitian ini dengan baik untuk memenuhi tugas mata kuliah satrsa bandingan.
Selanjutnya ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Dosen Pembimbing yang telah membimbing penulis.
Manusia tempatnya luput dan salah, apabila dalam menyususun makalah penelitian ini terdapat banyak kesalahan baik yang disengaja maupun yang tidak disengaja, penulis mohon maaf.
Penulis membutuhkan kritik dan saran para pembaca yang bersifat membangun untuk perbaikan makalah ini selanjutnya. Harapan penulis semoga apa yang penulis sajikan dapat memberikan manfaat dan menambah ilmu pengetahuan bagi seluruh pihak yang memebaca.




Semarang, 18 Oktober 2014
Penulis














































                  Sastra merupakan tulisan yang indah (Fananie, 2004:4). Jenis sastra dari zaman ke zaman selalu mengalami perubahan. Hal tersebut didasarkan pada kenyataan bahwa sistem sastra yang ada bukanlah merupakan satu sistem yang baku, merupakan suatu sistem yang selalu berubah sesuai dengan perkembangan zaman dan budaya (Fananie, 2004 :7).
     Novel merupakan salah satu bentuk karya sastra yang dapat memberikan manfaat besar bagi perkembangan sosial dan kehidupan manusia itu sendiri. Hal ini dikarenakan di dalam suatu novel pasti mengandung amanat dan makna kehidupan yang dapat memberikan perkembangan dalam kemanusiaan terutama dalam hal sosialnya. Hal ini sesuai dengan pernyataan yang seringkali kita dengar bahwa novelis can teach you more about human nature than the psychologis (Welek, 1993:34).
Novel sebagai karya sastra yang menyodorkan sesuatu yang menyenangkan, menghibur, dan dalam sifatnya yang beragam dan bermanfaat. Karya sastra yang berupa novel dapat memberikan pelajaran pendidikan dan pendalaman moral. Penulis akan menggunakan logika atau perasaannya dalam membuat sebuah karya sastra . Dalam sebuah novel memiliki unsur teori sastra yang dijadikan oleh penulis sebagai dasar dalam pembuatan sebuah karya sastra tersebut.
Novel dengan judul “Anteping Tekad” karya Ag. Suharti dapat dianalisis dengan menggunakan teori intertekstualitas, karena dalam novel tersebut terdapat perbedaan dan persamaan dalam unsur-nusur intrinsik dan ekstrinsik yaitu pada penokohan, tema, dan alur. Berdasarkan penjelasan tersebut, sehingga peneliti menggunakan teori intertekstualitas Rifaterre dalam menganalisis novel tersebut.
Penelitian ini mengangkat cerita novel Anteping Tekad yang dikomperasikan dengan cerita novel lainnya yang mempunyai kesamaan dalam ceritanya. Hal yang melatarbelakangi dilakukannya penelitian ini adalah adanya banyak kesamaan antara cerita novel Anteping Tekad dan cerita novel lainnya. Peneliti ingin mengetahui sejauh mana hubungan kedua cerita tersebut melalui kajian intertekstulitas menurut teori Rifaterre.
Dari uraian di atas rumusan masalah yang dapat disusun adalah sebagai berikut :
1.      Bagaimana persamaan tema, penokohan dan alur, yang terdapat pada novel Anteping Tekad karya Ag. Suharti dengan novel Pengakuan Pariyem karya Linus  Suryadi AG.?
2.      Apa perbedaan pemikiran tokoh pada novel Anteping Tekad dengan novel Pengakuan Pariyem?
3.      Bagaimana penentuan hipogram dan teks transformasi dari kajian intertekstualitas  pada novel Anteping Tekad karya Ag. Suharti dengan novel Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi AG.?
1.      Dapat mengetahui persamaan tema, penokohan dan alur, yang terdapat pada novel Anteping Tekad karya Ag. Suharti dengan novel Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi AG.
2.      Dapat mengetahui perbedaan pemikiran tokoh pada novel Anteping Tekad karya Ag. Suharti dengan novel Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi AG.
3.      Dapat menentukan hipogram dan teks transformasi dari kajian intertekstual pada novel Anteping Tekad karya Ag. Suharti dengan novel Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi AG.
Manfat penelitian ini adalah sebagai berikut :
1.      Dapat memberikan pemahaman mengenai penerapan teori intertekstualitas menurut Rifaterre dalam komparasi cerita novel.
2.      Memperkaya khasanah sastra baik sastra nasional daerah maupun sastra nasional.




























Penelitian tentang perbedaan dan persamaan struktur cerita novel “Anteping Tekad” dan “Pengakuan Pariyem” belum ada yang melakukan. Adapun penelitian yang pernah dilakukan oleh Witanti Suryandari dengan judul “Fakta dan Sarana Cerita Cerbung Martoloyo kaya Soroni Asikin dan Hubungannya dengan Babad Tanah Jawi”. Pada skripsinya tahun 2009. Dalam penelitiannya, ia menggunakan teori analisis struktural yang mengkaji tentang tokoh, alur, plot, sudut pandang dan gaya bahasa.
Perbedaan penelitian Witanti dengan penelitian ini adalah penelitian ini hanya mengkaji tema, penokohan dan alur saja. Sedangkan Witanti mengkaji tokoh, alur, plot, sudut pandang dan gaya bahasa.
Selain penelitian diatas, ada penelitian yang hampir sama juga oleh Ridwan Haryoko Putro pada skripsinya tahun 2009 yang berjudul “ Struktur Naratif Cerita Dewi Tanjung Sedhayung”. Penelitian ini juga mengkaji tentang tokoh dan penokohan, perbedaan pada penelitian ini dengan penelitian Ridwan adalah penelitian Ridwan hanya mengkaji tokoh dan penokohan, sedangkan dalam penelitian ini mengkaji tema, penokohan dan alur.
Secara luas, interteks diartikan sebagai jaringan hubungan antara satu teks dengan teks lain. Secara etimologis berasal dari bahasa latin, textus berarti tenunan, anyaman, penggabungan, susunan dan jalinan (Ratna, 2012:172). (Endraswara,2011:201) mengatakan, studi interktekstualitas mempelajari keseimbangan antara unsur intrinsik dan ekstrinsik teks yang disesuaikan dengan fungsi teks dimasyarakat. Jadi, studi intertekstualitas merupakan studi yang mempelajari hubungan atau keterjalinan antara teks yang satu dengan teks lainnya untuk mengemukakan unsur-unsur dan makna yang terkandung di dalam.
Teori interteks sangat penting dalam memahami sastra. Tidak ada karya yang asli dalam pengertian yang sesungguhnya. Artinya, tidak ada karya yang tidak diciptakan dalam keadaan kosong tanpa referensi dunia lain. Dalam proses interteks, konsep yang memegang peranan penting adalah hypogram. Menurut Rifaterre, hypogram sebagai struktur pratik, generator teks puitika yang mungkin merupakan kata-kata tiruan, kutipan, kompleks tematik, kata-kata tunggal, atau keseluruhan teks. Dalam bukunya Pradopo, Riffaterre mengungkapkan bahwa hipogram merupakan sajak (teks sastra) yang menjadi latar penciptaan karya sastra sesudahnya. Pengarang, baik secara sadar atau tidak menggunakan hypogram untuk melahirkan matriks atau kata-kata kunci yang pada gilirannya melahirkan model dan serial varian  untuk melahirkan matriks atau kata-kata kunci yang pada gilirannya melahirkan model dan serial varian. Menurut Riffaterre, matriks, model, dan teks adalah varian hypogram. Masih dalam bukunya Pradopo, Julia Kristeva mengatakan bahwa setiap teks sastra itu merupakan mosaik kutipan-kutipan, penyerapan dan transformasi teks-teks lain.


Dalam perkembangannya intertekstualitas muncul dengan anggapan para ahli yang berbeda-beda, diantaranya:

1.      Genette
Genette menggunakan istilah intertekstualitas bagi kehadiran teks lain di dalam suatu teks, antara lain cuplikan yang paling sering ditemukan dalam karya, misalnya plagiat, yaitu hubungan yang sangat nyata tetapi seringkali tak diakui atau alusi , yaitu hubungan yang tidak begitu eksplisit. Suatu bentuk hubungan intertekstual yang lain adalah pengambilan kembali salah satu unsur karya yang terdahulu. Misalnya satu tokoh dalam novel trilogi. Dari segi metodologis, teks-teks yang “dipinjam” itu tidak perlu disoroti. Yang perlu dianalisis adalah bagaimana “pinjaman” itu terintegrasi di dalam tempat yang baru, dan apakah maknanya tetap atau berubah (Reuter, 1991:130-131).

2.              Rifaterre
Interteks adalah keseluruhan teks yang dapat didekatkan dengan teks yang ada dihadapan kita, keseleruhan teks yang dapat ditemukan dalam pikiran seseorang ketika membaca suatu bagian teks. Jadi, interteks adalah korpus yang tak terbatas. Memang, bisa saja ditemukan dibagian awalnya: itu adalah teks yang membangkitkan asosiasi pikiran segera setelah kita mulai membaca. Sebaliknya, jelas bahwa tidak akan terlihat bagian akhirnya. Banyak tidaknya asosiasi pikiran ini tergantung dari luasnya pengetahuan budaya si pembaca. Pengenalan interteks yang sebelumnya timbul dari sejarah pengaruh, warisan sastra, dari penelitian tradisional tentang sumber, suatu tradisi yang masa kini kurang dihargai. Pengenalan tentang interteks yang datang kemudian timbul dari sejarah keabadian suatu karya sastra (Rifaterre dalam Okke Zimar, 1991).

3.              Yulia Kristeva
Sementara itu Yulia Kristeva, tokoh kritikus sastra yang pertama-tama menggunakan istilah intertekstualitas dalam bukunya Recherces pour une semanalyse (1969) mengemukakan gagasan yang tidak jauh berbeda dari apa yang disebut intertekstualitas oleh Rifaterre. Menurut pendapatnya, ada tiga tema utama yang menyebabkan adanya hubungan intertekstualiatas antara suatu teks dengan teks lain:
1.      Bahasa sastra adalah satu-satunya kode yang tidak terbatas
2.      Teks sastra adalah suatu realitas berwajah ganda penulisan-pembacaan
3.      Model paragramme







Pendekatan penelitian yang digunakan pada penelitian ini ada dua pendekatan, yakni pendekatan metodologis dan pendekatan teoritis. Pendekatan metodologis yang digunakan adalah pendekatan objektif, yaitu pendekatan yang memandang karya sastra sebagai dunia otonom yang dapat dilepaskan dari dunia pengarang dan latar belakang sosial budaya zamannya sehingga karya sastra dapat dianalisis berdasarkan struktur, dengan kata lain karya sastra dipahami berdasarkan segi intrinsik. Pada pendekatan teoritis yang digunakan adalah menggunakan teori Rifaterre. Pendekatan yang digunakan Rifaterre adalah keseluruhan teks yang dapat ditemukan dalam pikiran seseorang ketika membaca suatu bagian teks. Jadi, interteks adalah korpus yang tak terbatas. Memang, bisa saja ditemukan dibagian awalnya: itu adalah teks yang membangkitkan asosiasi pikiran segera setelah kita mulai membaca. Sebaliknya, jelas bahwa tidak akan terlihat bagian akhirnya. Banyak tidaknya asosiasi pikiran ini tergantung dari luasnya pengetahuan budaya si pembaca. Teks sastra yang digunakan pada peneltian ini adalah novel Anteping Tekad yang dikomparasikan dengan novel Pengakuan Pariyem.
Dalam penelitian ini, data yang diambil adalah cerita novel “Anteping Tekad” dengan ” Pengakuan Pariyem”.
Sumber data yang digunakan yaitu sumber data tulis yang diperoleh dari observasi pustaka yaitu pada novel “Anteping Tekad” yang dikarang oleh Ag. Suharti dengan “Pengakuan Pariyem” yang dikarang oleh Linus Suryadi AG.
Teknik yang digunakan untuk mengumpulkan data pada penelitian ini adalah teknik baca. Dengan teknik baca, penulis membaca novel “Anteping Tekad” dengan “ Pengakuan Pariyem” yang dijadikan sebagai data penelitian.
Dalam pengumpulan data digunakan teknik catat. Pencatatan merupakan hal yang sengaja dilakukan oleh peneliti supaya tidak merasa kesulitan dalam mengumpulkan data.

3.4.Teknik Analisi Data
Teori yang digunakan untuk menganalisis cerita novel “Anteping Tekad” dan “Pengakuan Pariyem” adalah teori Intertekstualitas oleh Rifaterre. Teknik analisis data dilakukan dengan mengaitkan persamaan dan perbedaan dalam cerita yaitu tema, penokohan, dan alur
Tema adalah secara etimogis kata tema berasal dari istilah meaning, yang berhubungan arti, yaitu sesuatu yang lugas, khusus, dan objektif. Lebih jauh Sudjiman memberikan pengertian bahwa tema merupakn gagasan, ide atau pikiran utama yang mendasari suatu karya sastra (1992:52). Dari sebuah karya sastra adakalanya dapat diangkat suatu ajaran moral atau pesan yang ingin disampaikan pengarang .
Penokohan adalah cara penggambaran tentang tokoh melalui perilaku dan pencitraan. Panuti Sudjiman memberikan definisi penokohan adalah penyajian watak tokoh dan penciptaan citra tokoh (Suroto, 1989:92-93).
Alur adalah struktur rangkaian kejadian dalam cerita yang disusun sebagai interrelasi fungsional yang sekaligus menandai urutan bagian-bagian dalam keseluruhan karya fiksi. Stanton (dalam Nurgiyantoro, 2000:113) mengemukakan bahwa alur atau plot adalah cerita yang berisi urutan kejadian, namun tiap kejadian itu hanya dihubungkan secara sebab akibat, peristiwa yang satu disebabkan atau menyebabkan peristiwa lain.






























·         Persamaan Tema dalam novel Anteping Tekad dengan Pengakuan Pariyem
Tema dalam novel Anteping Tekad dan Pengakuan Pariyem sama yaitu perjuangan seorang gadis desa dalam menjalani liku-liku kehidupan.
Dilihat pada kutipan novel Anteping Tekad:
“Wis meh setengah taun aku ana ngomah. Uripku mung kebak kasepen, panalangsa lan tanpa pangarep-arep. Saprene durung ana owah-owahane apa-apa. Isih ajeg bae, esuk jam lima tangi, terus numpangake ceret, adus, nyapu, umbah-umbah, masak, mangan, nyetlika, lan sapanuggalane. Kabeh pagaweyan sing saben dina kudu ditindakake, nanging uga sing nyebahi, monoton lan ora muwuhi kapinteran apa-apa. Menawa bocah-bocah liyane padha bisa nyambi sinau njait, ngetik utawa mbatik, uripku tetep wae, ora ana selingane. Ora let suwe ana suwara slenthinng-slenthing, bocah wadon umure 16 taun ana desa wis dipandeng gedhe, wis pantes enggal kudu di omah-omahake. Aku sebel krungu rerasan sing mengkono iku. Wekasane ibu  dhawuh marang aku, manawa aku wis dilamar dening Kalijo, anake wong sugih, manut ukurane wong desa. Kalijo wis duwe bojo, nanging wis dipegat. Resmine bae lagi rabi ping pindho, nanging nyatane embuh wis kaping pira wong iki nganggo dolanan bocah-bocah wadon. Jam papat esuk aku wis ninggal omah. Ing bengine tekadku wis golong, aku suthik omah-omah karo wong kaya Kalijo. Weruh wonge bae sengitku wis ora ilok. Tindakakne sawenang-wenang ngendelake dadi anake wong sugih”.

Tokoh pergi menuju Bogor dapat dilihat dari kutipan novel:
“Luhku enggal tak usapi, aku mlebu maneh ing setasiun, terus tuku karcis menyang Bogor. Gek ana Bogor, sapa sing arep ndak jujug. Peputoning tekad, menawa wis kepepet, aku arep njujug kantor polisi lan arep blaka apa saanane. Nalika sepur wis tekan Bogor , watara jam 9 bengi, kanthi lungkrah lan bingung, aku metu saka setasiun. Sajegku durung tau ngambah kutha Bogor, tepungan apadene sanak sadulur siji bae ya ora ana. Saking buneg lan susahing uripku, lakuku ora ngati-ati, mak bruk aku nubruk uwong. Bareng ndak waspadakake, sing ndak tubruk mau jebul sawijining kenya manis. Gita-gita aku njaluk pangapura. Bocah mau mesem lan kandha ora dadi apa. Wangune bebudhene mBokmanawa bae gelem aweh pitulungan menyang aku, ing samangsa wis ngerti marang karepotanku. Nanging mesthi bae aku ora bisa kandha apa sanyatane. Mula aku banjur ngarang-ngarang. Ing batin aku ya rumangsa sungkan, kapeksa goroh. Aku crita, manawa aku lagi nggoleki sadulurku, nanging ora bisa ketemu, jalaran wis pindah panggonan. Kenya mau mangsuli, manawa mangkono angel banget golek-golekane. Mbokmanawa bae weruh aku kentekan akal, dheweke tuwuh rasa welase lan banjur nari aku, apa aku gelem diajak menyang omahe. Aku rindhik asu digitik, sumrinthil diajak. Bocahe banjur ngawe dhokar. Nalika wis mlebu pekarangane omahe, lan terus njujuk ana ing mburi, sikilku kaya-kaya abot ndak anggo njangkah. Isinku ora karuwan, ditebus duwit sewu ora kena. Atiku ndak tatag-tatagake. Tujune pangrengkuhe wong sak omah pada becik. Wiwit saka Bapak lan Ibu Dibya, tekan  para putra lan nganti tekan abdi-abdine. Sapira gedhening panuwunku marang kaluwarga  Sudibya mau, sing wis kersa ngluberake kabecikane marang aku. Wangune wiwit ketemu karo kaluwarga Sudibya, nasibku wiwit katon padhang. Durung nganti saminggu aku nderek ana kono, wis ana priyayi sing mbetahake abdi...”
Hingga tokoh menjadi pembantu di keluarga Ny.Sutarno di Bogor, dapat dilihat dari kutipan novel:
“Esuk-esuk aku kudu wis nyawisake susu 4 gelas, godhogan endhog pitik 4, roti 4 tangkep isi mentega lan sele, kanggo dhahar sarapane priyayi njero. Sawise iku, nganakake sarapan kanggo para abdi. Jam 12 awan tata meja, nyawisi dhahare pak Sutarno, amarga isih kondur nyambut damel maneh. Jam papat sore nyawisi unjukan kopi susu utawa soklat karo nyamikan.”
Ending dari liku-liku perjalanan hidupnya menikah dengan Sundoro dapat dilihat pada kutipan novel:
“E dene wekasane sakabehing ruwet renteng bisa diudari. Ndara ajeng Indiah kang setya, bisa klakon dadi raden ayu Sundoro”.
“Nalika semanten Indiah saweg blanja wonten toko lan lajeng pinanggih kaliyan Suwarni. Sasampunipun mantun gumunipun, sumerep Indiah dados Ny. Sundoro, kalih-kalihipun lajeng sami rerangkulan, nelakaken ing bingahipun, saged sami pinanggih malih”.
Dilihat pada kutipan novel Pengakuan Pariyem:
“ PARIYEM, nama saya
Lahir di Wonosari Gunung Kidul pulau Jawa
tapi bekerja dikota pedalaman Ngayogyakarta
Umur saya 25 sekarang
-tapi nuwun sewu
tanggal lahir saya lupa
Tapi saya ingat betul weton saya
Wukunya kuningan
di bawah lindungan bethara Indra
Jumat wage waktunya
Ketika hari bangun fajar”
Bukti perjuangan tokoh sebagai pembantu di nDoro Kanjeng Cokro Sentono, dilihat dari kutipan novel:
“ Ya, ya, Pariyem saya
Maria Magdalena Pariyem lengkapnya
“Iyem” panggilan sehari-harinya
Dari Wonosari Gunung Kidul
Sebagai babu nDoro Kanjeng Cokro Sentono
Di nDalem Suryomentaraman Ngayogyakarta
Saya sudah terima kok
Saya lega lila
Kalau memang sudah nasib saya
Sebagai babu, apa ta repotnya?”
Hingga tokoh terjebak dalam seks bebas dengan anak majikannya yaitu Raden Ario Atmojo, dilihat dari kutipan novel:
“ketika itu rumah lagi kosong
Sedang ditinggal pergi plesir
Ke kebun binatang Gembira Loka
Naik andhong-sekeluarga-
Mereka mau nonton Gombloh
Itu lho kuda Nil dari Mesir
Yang mengajak guyon sama pawangnya
Sampai diangkut ke rumah sakit pula
Kakinya remuk, tanpa bentuk
Pengunjung pun berbondong-bondong
Berbondong-bondonglah pengunjung
Datng kepengin menyaksikan
Tapi Den Bagus Ario tidak ikut
Lagi tak enak badan alasanya
Tinggal saya dan dia tinggal di rumah
-berdua
Lha, tidak salah lagi
-betul, iya
Dia masih malu-malu
Memang dia clingus banget, kok
Tapi, sorot matanya tak bisa menipu
Saya kenal betul sama hasrat lelaki
Yang timbul dibalik gerak-geriknya
Pendeknya, dia kasmaran sama saya
Selagi saya membersihkan kamarnya
Tiba-tiba saya direnggut dari belakang
O, Allah saya kaget setengah mati, mas
Sekujur tubuh saya digrayanginya
Pipi, bibir, penthil saya dingok pula
Paha saya diraba-raba
Diraba-raba paha saya
Alangkah bergidik bulu kuduk saya
Alangkah merinding urat saraf saya
Tapi saya pasrah saja, kok
Saya lega lila
Tanpa berkata barang sekecap
Peristiwa itu pun terjadilah
Jagad gemetar memangku kami
Dalam cahaya matahari pagi”

·         Penokohan dalam novel Anteping Tekad dan Pengakuan Pariyem
Tokoh dalam novel Anteping Tekad dan Pengakuan Pariyem adalah sama-sama seorang gadis desa yang berasal dari Yogyakarta pergi merantau dan bekerja sebagai babu
Dilihat pada kutipan novel Anteping Tekad:
”Manut kandhane jare saka Yogja. Mbokmanawa nek didhidhik besuk bisa nyulihi Tinah”.  Jare asale saka desa, tur adoh saka kutha. Nanging diarani kikuk banget kok ya ora. Kaya-kaya yen dikandani ya terus bisa nyandak. Tur ya pethel ing gawe, sathithik-thithik ya wis ngerti tulis. Esuk-esuk aku kudu wis nyawisake susu 4 gelas, godhogan endhog pitik 4, roti 4 tangkep isi mentega lan sele, kanggo dhahar sarapane priyayi njero. Sawise iku, nganakake sarapan kanggo para abdi. Jam 12 awan tata meja, nyawisi dhahare pak Sutarno, amarga isih kondur nyambut damel maneh. Jam papat sore nyawisi unjukan kopi susu utawa soklat karo nyamikan.”

Dilihat pada kutipan novel Pengakuan Pariyem:
“ Ya, ya, Pariyem saya
Maria Magdalena Pariyem lengkapnya
“Iyem” panggilan sehari-harinya
Dari Wonosari Gunung Kidul
Sebagai babu nDoro Kanjeng Cokro Sentono
Di nDalem Suryomentaraman Ngayogyakarta
Saya sudah terima kok
Saya lega lila
Kalau memang sudah nasib saya
Sebagai babu, apa ta repotnya?”

·         Alur dalam novel Anteping Tekad
Alur yang digunakan dalam novel Anteping Tekad dan Pengakuan Pariyem adalah teknik flashback atau sorot balik.


Dilihat pada  kutipan novel Anteping Tekad:
“Aku lan kanca-kancaku wis padha tampa ijazah. Racake kanca-kanca padha bungah lan padha upyek crita, padha arep nerusake sekolah. Ana sawatara sing arep nganakake rame-rame, marga saka bungahe lan bisa nerusake pasinaone. Ana maneh sing kudu enggal-enggal mangkat Semarang, Surabaya utawa Jakarta, marga arep padha nerusake sekolah bidan. Aku sebenere keduwung, dene ora wingi-wingi melu kanca-kanca ngajokake lamaran, ngleboni sekolah juru rawat. Bocah-bocah padha katon seneng-seneng lan marem-marem. Mung aku dhewe sing nangis ing batin. Bocah-bocah iku padha duwe gegayuhan arep nerusake pasinaone. Balik aku wis ora ana maneh kang kena dirembug. Ing sadurunge aku wis weruh, yen uripku wis ditetepake, kudu ndhuwel ana ngomah. O nasib... sekolah kudu mandheg tengah ndalan, jalaran kesandhung ing kamiskinan. Aku kapeksa kudu gelem dikungkung ana ngomah lan saben dina nggetuni apesing nasib. Wis meh setengah taun aku ana ngomah. Uripku mung kebak kasepen, panalangsa lan tanpa pangarep-arep. Saprene durung ana owah-owhane apa-apa. Isih ajeg bae, esuk jam lima tangi, terus numpangake ceret, adus, nyapu, umbah-umbah, masak, mangan, nyetlika, lan sapanuggalane. Kabeh pagaweyan sing saben dina kudu ditindakake, nanging uga sing nyebahi, monoton lan ora muwuhi kapinteran apa-apa. Menawa bocah-bocah liyane padha bisa nyambi sinau njait, ngetik,utawa mbatik, uripku tetep wae, ora ana selingane”. Ora let suwe ana suwara slenthinng-slenthing, bocah wadon umure 16 taun ana desa wis dipandeng gedhe,, wis pantes enggal kudu di omah-omahake. Aku sebel krungu rerasan sing mengkono iku. Wekasane ibu  dhawuh marang aku, manawa aku wis dilamar dening Kalijo, anake wong sugih, manut ukurane wong desa. Kalijo wis duwe bojo, nanging wis dipegat. Resmine bae lagi rabi ping pindho, nanging nyatane embuh wis kaping pira wong iki nganggo dolanan bocah-bocah wadon. Jam papat esuk aku wis ninggal omah. Ing bengine tekadku wis golong, aku suthik omah-omah karo wong kaya Kalijo. Weruh wonge bae sengitku wis ora ilok. Tindakakne sawenang-wenang ngendelake dadi anake wong sugih bab jejodohan, aku dhewe sing ngurusi, ora ana wong liya sing bisa meksa. Iki mung mligi dadi hake wong sing arep nglakoni. Mesti bae ing dhasaring atiku, aku ya kepengin bisa enggal omah-omah. Saben bocah wadon mesthi duwe gagasan kang mengkono. Nyenyuwun marang kang Maha Kuwasa supaya enggal diparingi jodho. Anuju sawijining dina bisa ketemu karo priya, sing dadi cocoging ati, sawijining pemudha sing pantes disuwitani, dipasrahi pati uripe, becik bebudene, kena dipercaya lan duwe rasa tanggung jawab. Apa salah, senajan aku anake wong ora duwe, iya kurang sesurupane, ngarep-ngarep bisa diwengku dening sawijining priya sing pinter, pangkat lan sembada rupane? Apa jenenge kleru yen aku ngemohi Kalijo, sing ora tahu dadi idham-idhamaning atiku. Mbokmanawa bapak ibu kagungan pamanggih, manawa aku gelem karo Kalijo, aku bakal bisa melu ngenthengake sesanggane wong tuwa lan melu mikir adhi-adhiku. Ing endi-endi wis kabukten, manawa wong sugih mono, mantune iya anake wong sugih. Dene ana wong sugih nganti gelem ngepek mantu anake wong ora duwe, iki sejatine ora metu saka prenthuling ati sing eklas lan rila, nanging mung nuruti karepe anak. Ing tembe mburine, aku mesti mung bakal diundhat-undhat nganggo tetembungan sing bakal nyiksa uripku ing sateruse.
Ing sakawit aku arep njujug ndaleme bu Pringgo, tilas guruku biyen. Niyatku arep golek pegaweyan. Nanging aku banjur kelingan, yen wong nyambut gawe ana jaman saiki lan urip ana ing kutha gedhe, blanjane ora cukup dipangan sesasi. Aku luwih ketarik marang kandhane sijining kancaku, manawa ing Kebayoran Baru lan ana ing Bogor, akeh para hartawan padha merlokake tenaga terpelajar kanggo njaga anak-anake, utawa dadi juru masak. Blanjane maremake, panagn lan sandhang dijamin. Wong iki yen wis kapepet sok wani nekad. Rehning aku wis kebacut oncat saka omah, lha kepriye maneh. Aku sok maca, ana ing negara kulonan, wis jeneng kaprah, para mahasiswa padha gelem nindakake pegawean kasar, sebab perlu kanggo nyukupi kaperluaning urip lan sianune. Kiraku aku ora ngasorake drajatku banget-banget manawa banjur dadi pengasuh utawa dadi koki. Kekencenganing tekadku wis mantep. Aku banjur tuku karcis medhun setasiun Gambir. Nanging ora kanyana-nyana, bareng aku wis tekan Jakarta lan lagi bae metu saka setasiun Gambir, aku kepethuk Istinah, tilas kancaku sekolah. Dhek ana kelas papat. Kabare bojone sawijining dokter. Kandhane, perlu arep methuk ibune sing rawuh saka Madiun. Aku diampirake menyang omahe lan diaajak bebarengan nunggang motore, menyang Kabayoran Baru. Atiku wis ora kena ndak tata, senajan ing lair kanthi tatag aku ngucapake panarima lan kandha, rehning aku ya dipethuk, aku mung njaluk alamate lan liya dina arep merlokake tilik. Wangune Is ngandel marang gunemku sing goroh mau.  Bojone katon ngrogoh sak lan banjur ngulungake kartu alamate. Is ngrangkul lan ngambungi aku, dene doktere la ibune mara tuwa padha mesem ngawasake. Saungkure Is, luhku wiwit brebel-brebel, ora kena ndak sayuti maneh, jalaran saka gedhening panalangsaku. O awak... awak... wangune durung paja-paja enggonmu kudu isih ngalami sangsaraning lelakonmu. Luhku enggal tak usapi, aku mlebu maneh ing setasiun, terus tuku karcis menyang Bogor. Gek ana Bogor, sapa sing arep ndak jujug. Peputoning tekad, menawa wis kepepet, aku arep njujug kantor polisi lan arep blaka apa saanane. Nalika sepur wis teka Bogor , watara jam 9 bengi, kanthi lungkrah lan bingung, aku metu saka setasiun. Sajegku durung tau ngambah kutha Bogor, tepungan apadene sanak sadulur siji bae ya ora ana. Saking buneg lan susahing uripku, lakuku ora ngati-ati, mak bruk aku nubruk uwong. Bareng ndak waspadakake, sing ndak tubruk mau jebul sawijining kenya manis. Gita-gita aku njaluk pangapura. Bocah mau mesem lan kandha ora dadi apa. Wangune bebudhene mBokmanawa bae gelem aweh pitulungan menyang aku, ing samangsa wis ngerti marang karepotanku. Nanging mesthi bae aku ora bisa kandha apa sanyatane. Mula aku banjur ngarang-ngarang. Ing batin aku ya rumangsa sungkan, kapeksa goroh. Aku crita, manawa aku lagi nggoleki sadulurku, nanging ora bisa ketemu, jalaran wis pindah panggonan. Kenya mau mangsuli, manawa mangkono angel banget golek-golekane. Mbokmanawa bae weruh aku kentekan akal, dheweke tuwuh rasa welase lan banjur nari aku, apa aku gelem diajak menyang omahe. Aku rindhik asu digitik, sumrinthil diajak. Bocahe banjur ngawe dhokar. Nalika wis mlebu pekarangane omahe, lan terus njujuk ana ing mburi, sikilku kaya-kaya abot ndak anggo njangkah. Isinku ora karuwan, ditebus duwit sewu ora kena. Atiku ndak tatag-tatagake. Tujune pangrengkuhe wong sak omah pada becik. Wiwit saka Bapak lan Ibu Dibya, tekan para putra lan nganti tekan abdi-abdine. Sapira gedhening panuwunku marang kaluwarga Sudibya mau, sing wis kersa ngluberake kabecikane marang aku. Wangune wiwit ketemu karo kaluwarga Sudibya, nasibku wiwit katon padhang. Durung nganti saminggu aku nderek ana kono, wis ana priyayi sing mbetahake abdi...
Sakmene dhisik olehku ngiseni buku cathetanku. Liya dina disambung maneh. Aku isih ana tugas akeh, kudu nyinauni ilmu beternak ayam, karangane dr. Sena Satraamijoyo, lan sapanunggalane.”
Dilihat pada kutipan Pengakuan Pariyem:
“Masa bocah saya datang
Kembali mengusik ingatan
Dan kembali mengajak dolan
Sebagai kawan sepermainan
Sebagai anak Ledhek dan Pesindhen
Laupan simbok sudah veteran
Tapi mana saya tak bisa nembang”
“Lihatlah bocah-bocah berkalang
Ingkrak dan berpegangan tangan
Dengan selendangnya dipinggang
Sarungnya dikalungkan leher
Juga yang memanjat pohon
Wajah-wajah murni, wajah-wajah suci
Mengayun-ayunkan jagad Wonosari
Dan dengarkanlah saya nembang
Jalak-jalak pita”
“kembali bocah-bocah buyar
Begitu tembang berakhir
Dan tepuk tangan pun gempar
Pertanda permainan bubar
Rep sindhen: alam pun hening
Perlahan kegelatan hadir”
“Saya ulur benang panjang
Saya ulur kenangan masa silam
Bagaikan air kolam  mengalir
Mencapai titik perbatasan
Bersih, tenang dan lengang
Mengapungkan daun-daunan”
·         Pemikiran Tokoh pada novel Anteping Tekad adalah bermoral dan mempunyai pikiran untuk maju tidak berpasrah sebagai pembantu
Dapat dilihat pada kutipan novel:
“Awit wis terang, aku ora bakal dadi abdi seteruse. Iki bae manawa bapak ibu lan sanak sadulur ku padha priksa, aku mesthi wis diparani, didhawuhi bali, sebab gawe wirang. Manawa wis bengi aku sok klisikan, ora bisa enggal turu, mikir kepriye kaanane uripku ing tembe. Gegayuhanku warna-warna, yen wis cukup anggonku keklumpuk dhuwit, aku arep nyuwun metu lan golek gawean ana Jakarta. Banjur nerusake sinau ana ing SMA. Aku yakin, ana Jakarta aku mesthi bakal bisa oleh gaweyan. Sokur ana ing kantor Pamarintah, orane iya ana ing swasta. Direwangi prihatin lan nyambut gawe kanthi sregep, mantep, mbokmanawa mbesuk bakal bisa kecekel apa sing dadi jangkaku. Ora kaya nalika aku isih urip ana ing desa, tanpa pengalaman, tanpa wawasan, tanpa bimbingan, tanpa srana lan dhuwit”.
·         Pemikiran Tokoh pada novel Pengakuan Pariyem adalah tidak bermoral dan selalu berpasrah dengan  prinsip “lega lila” sebagai pembantu
Dilihat pada kutipan novel:
“ Ya, ya, Pariyem saya
Maria Magdalena Pariyem lengkapnya
“Iyem” panggilan sehari-harinya
Dari Wonosari Gunung Kidul
Sebagai babu nDoro Kanjeng Cokro Sentono
Di nDalem Suryomentaraman Ngayogyakarta
Saya sudah terima kok
Saya lega lila
Kalau memang sudah nasib saya
Sebagai babu, apa ta repotnya?”
“ Lha, saya tidak diperkosa dia, kok
Saya meladeni dengan suka rela
Rasa tulus ikhlas lambarannya
Bahkan kalau saya sudah gatal
Den Baguse saya bujuk, saya goda
Dia pun menyambut penuh kegairahan
O, Allah, bikin saya ketagihan!

Anteping Tekad merupakan hipogram dari novel Pengakuan Pariyem, dan novel Pengakuan Pariyem merupakan transformasi dari novel Anteping Tekad. Hipogram dan teks transformasi tersebut dapat dilihat dari tahun terbitan. “Anteping Tekad Pada Tahun 1975” sedangkan “ Pengakuan Pariyem tahun 1981”.















Dalam novel Anteping Tekad dan novel Pengakuan Pariyem mempunyai kesamaan, yaitu persamaan tema, penokohan dan alur seperti yang sudah disebutkan diatas. Ada pula perbedaannya, yaitu pada pemikiran tokoh perempuan pada kedua novel, tokoh perempuan yang diceritakan mempunyai perbedaan pola pikir dan tingkah lakunya yang sudah disebutkan diatas. Selain itu terdapat pengaruh dan bukti bahwa adanya hipogram dan teks transformasi. Novel Anteping Tekad merupakan hipogram dari novel Pengakuan Pariyem, dan novel Pengakuan Pariyem merupakan transformasi dari novel Anteping Tekad.
Dari penelitian ini kita bisa belajar dalam penulisan karya ilmiah yang baik dan benar. Novel dapat memberi manfaat pada perkembangan sosial dan pendidikan. Kurangnya kesempurnaan dalam karya ilmiah ini penulis mengharapkan saran yang bersifat membangun dari pembaca.













Suharti, Ag.1975.  Anteping Tekad.  Jakarta: Balai Pustaka
Suryadi AG, Linus.1981. Pengakuan Pariyem. Jakarta :Kepustakaan Populer Gramedia
Zaimar, Okke Kusuma Sumantri.2014. Semiotika Analisis Karya Sastra. Depok: Komodo Books
(didownload tanggal 10 Oktober pukul 10.30 WIB)
(didownload pada tanggal 10 Oktober pukul 10.30 WIB)
(didownload pada tanggal 09 Oktober pukul 11.30 WIB)
(didownload pada tanggal 09 Oktober pukul 11.30 WIB)
hhtp//desisusanti16.blogspot.com/2012/04/umsur-unsur-intrinsik-dalam-cerita.html
(didownload pada tanggal 09 Oktober pukul 11.30 WIB)


Seorang gadis desa, putri dari salah seorang pensiunan asisten wedana di  Yogyakarta. Irah alias Indiah mengalami perjalan hidup yang berliku-liku. Dimulai dengan ketidak beruntungannya dalam menghadapi hidup setelah lulus SMP hingga perjodohanya dengan duda tukang kawin cerai,  yang membawanya berani meninggalkan rumah ke kota besar Jakarta dan mengabdi sebagai pembantu di Bogor. Mengabdikan diri sebagai rewang keluarga Sutarno.
Indiah yang mulai menikmati kehidupanya sebagai pembantu menjadi tidak tentram akibat perbuatan tokoh Sukri teman Sundoro.  ketika Indiah menyajikan minuman. Demikian juga pada peristiwa ketika Indiah didekati oleh Gimin, teman sesama pembantu.
Pergolatan batin dalam diri Indiah apa yang harus dilakukan dengan surat Sukri, Lamaran Gimin, sedangakn dia sudah mulai mencintai Sundoro majikanya yang sudah bertunagan dengan Utami. Tanpa disadari ternyata rasa cintanya terhadap Sundoro semakin besar. Hal itu membuat Indiah semakin kacau apalagi setelah tahu bahwa orang yang dicintainya setelah lulus kuliah akan seger menikah dan melanjutkan pendidikanya di luar negeri. Rasa sedih akan kehilangan orang yang dicintai membuat Indiah merasa putus asa. Namun ternyata Sundoro, majikannya juga mempunyai rasa yang sama kepada Indiah, dan secara terang-terangan mengakui cintanya. Hal ini membuat Ny.Sutarno marah dan mengusir Indiah dari rumahnya. Setelah diusir Indiah bertemu dengan Istinah, teman SMP nya yang telah dipersunting oleh dokter. Dan dipekerjakan sebagai pengasuh anakanya. Ia juga berhasil melanjutkan sekolahnya di bangku SMA. Pada kesempatan itu ia kembali bertemu dengan Suwondo dan Sukri yang kembali ingin meminangnya namun keduanya ditolak oleh Indiah.
Hingga pada akhirnya ada kabar bahwa Utami Istri Sundoro meninggal saat melahirkan, dan akhirnya Sundoro menjemput Indiah dan mempersuntingnya.

Pariyem adalah seorang pembantu  yang bekerja pada Ndoro kanjeng Cokro Sentono di kraton Ngayogyakarta. Ia berasal dari Wonosari Gunung Kidul, karena Pariyem beragama Katolik maka ia diberi nama baptis Maria Magdalena. Tetapi Pariyem lebih sering dipanggil “Iyem”. Sebagai seorang pembantu, Pariyem sangat patuh pada majikannya. Ia menerima dengan lapang apa yang ia dapat dan ia miliki Pariyem merasakan hidup ini mengalir apa adanya. Pariyem lahir dari seorang bapak yang bernama Karso Suwito dan ibunya bernama Parjinah. Bapak Pariyem merupakan seorang pemain ketoprak yang ulung paguyuban ketropaknya sangat laris dizaman ia masih muda dahulu. Sedangkan ibu Pariyem merupakan seorang “ledhek” dan seorang sinden. Dia sangat mahir menari tayub dan nembang jawa. Tapi pada zaman G-30-S/PKI paguyuban ini tidak bisa diteruskan karena banyak anggotanya yang diduga anggota PKI dan di tangkap oleh polisi.
Pariyem adalah seorang pembantu yang mempunyai moto hidup  “lega lila”. Ini terbukti saat diajak tidur oleh raden Bagus Ario Atmojo putra kanjeng Cokro. Ia hanya pasrah dan rela ditiduri oleh putra tuannya walaupun ini bukan yang pertama bagi Pariyem karena dahulu Pariyem pernah diajak tidur oleh mas Paiman (Kliwon) dan sekarang telah pergi bekerja di Jakarta.
Saat rumah sedang sepi Raden Ario sering mengajak Pariyem tidur begitu juga saat Pariyem kepingin ia mengajak Raden Ario. Tak lama berselang Periyem hamil dan hal ini diceritakan pada  Ndoro Wiwit Setiowati yang merupakan adik dari Raden Ario. Kemudian Ndoro Wiwit  menceritakan hal tersebut pada ayahnya yakni Kanjeng Cokro Sentono. Pada malam hari keluarga dikumpulkan untuk membahas masalah yang dialami oleh Pariyem dan Raden Ario.
Keputusan Kanjeng Cokro sangat bijak, ia tidak mengusir Pariyem tetapi menyuruh Pariyem untuk pulang selama setahun dan kembali bekerja setelah anaknya lahir. Kanjeng Cokro memberi nama anak tersebut Endang Sri Setianingsih. Saat bayinya berumur setahun Pariyem harus sudah bekerja lagi di ndalem kraton. Begitulah setiap minggu Pariyem harus bolak-balik Wonosari Yogyakarta demi anaknya Endang Sri Setianingsih.














No comments:

Post a Comment