Sunday, January 11, 2015

Tradisi Tingkeban







Mitoni atau selamatan tujuh bulanan, dilakukan setelah kehamilan seorang ibu genap usia 7 bulan atau lebih. Dilaksanakan tidak boleh kurang dari 7 bulan, sekalipun kurang sehari. Belum ada neptu atauweton (hari masehi + hari Jawa) yang dijadikan patokan pelaksnaan, yang penting ambil hari selasa atau sabtu.  Tujuanmitoni atau tingkeban agar supaya ibu dan janin selalu dijaga dalam kesejahteraan dan keselamatan (wilujeng, santosa, jatmika, rahayu).





PERSYARATAN :


1. Bubur 7 macam :
Kombinasi 7 macam; (1) bubur merah (2) bubur putih (3) merah ditumpangi putih, (4)  putih ditumpangi merah, (5) putih disilang merah, (6) merah disilang putih, (7) baro-baro (bubur putih diatasnya dikasih parutan kelapa dan sisiran gula jawa).
Bubur putih dimakan oleh sang Ayah. Bubur merah dimakan sang Ibu. Bubur yang lain dimakan sekeluarga.


Bahan;
Bubur putih gurih (dimasak pake santen) dan bubur merah (dimasak pake gula jawa);
Bubur ditaruh di piring kecil-kecil;
2. Gudangan Mateng  (sayurnya direbus) :
Bahan ; Sayur 7 macam; harus ada kangkung dan kacang. Kangkung dan kacang  panjang jangan dipotong-potong, dibiarkan panjang saja. Semua sayuran direbus.
Bumbu gudangannya pedas.
3. Nasi Megono ; Nasi dicampur bumbu gudangan pedes lalu dikukus.
4. Jajan Pasar ; biasanya berisi 7 macam makanan jajanan pasar tradisional.
5. Rujak ; bumbunya pedas dengan 7 macam buah-buahan.
6. Ampyang ; ampyang kacang, ampyang wijen dll (7 macam ampyang). Apabila kesulitan mendapatkan 7 macam ampyang, boleh sedapatnya saja.
7. Aneka Ragam Kolo ;
Kolo kependem (kacang tanah, singkong, talas), kolo gumantung (pepaya), kolo merambat  (ubi/ketela rambat); kacang tanah, singkong, talas, ketela, pepaya. direbus kecuali pepaya. Pepaya yang sudah masak. Masing-masing jenis kolo tidak harus semua, tetapi bisa dipilih salah satu saja. Misalnya kolo kependhem; ambil saja salah satu misalnya kacang tanah. Jika kesulitn mencari kolo yang lain; yang penting ada dua macam kolo ; yakni cangelo; kacang tanah  +  ketela (ubi jalar).
8. Ketan ; dikukus lalu dibikin bulatan sebesar bola bekel (diameter 3-4 cm); warna putih, merah, hijau, coklat, kuning.
9. Tumpeng nasi putih; kira-kira cukup untuk makan 7 atau 11, atau 17 orang.
10. Telur ; telur ayam 7 butir.
11. Pisang ; pisang raja dan pisang raja pulut masing-masing satu lirang/sisir.
12. Tumpeng tujuh macam warna; tumpeng dibuat kecil-kecil dengan warna yang berbeda-beda. Bahan nasi biasa yang diwarnai.

TATA CARA
Tumpeng ditaruh di atas kalo (saringan santan yang baru). Bawahnya tumpeng dialasi daun pisang. Di bawah kalo dialasi cobek agar kalo tidak ngglimpang. Sisa potongan  daun pisang diletakkan di antara cobek danpantat kalo.

Sayur 7 macam direbus diletakkan mengelilingi tumpeng, letakkan bumbu gudangannya melingkari tumpeng juga. Telur ayam (boleh ayam kampung  atau ayam petelur) jumlahnya 7 butir, direbus lalu dikupas, diletakkan mengelilingi tumpeng. Masing-masing telur boleh di belah jadi dua. Pucuk tumpeng dikasih sate yang berisi ; cabe merah, bawang merah, telur utuh dikupas kulitnya, cabe merah besar, tancapkan vertikal. (urutan ini dari bawah ke atas; lihat gambar).

Tusuk satenya dari bambu, posisi berdiri di atas pucuk tumpeng; urutan dari bawah; cabe merah besar posisi horisontal, bawang merah dikupas, telur kupas utuh, bawang merah lagi, paling atas cabe merah besar posisi vertikal.

Pisang, jajan pasar, 7 macam kolo, dan 7 macam ampyang ditata dalam satu wadah tersendiri, namanya tambir atau tampah tanpa bingkai yg lebar.
Tambirnya juga yg baru, jangan bekas. Tampah “pantatnya” rata datar, sedangkan tambir pantatnya sedikit agak cembung.
Tumpeng tujuh macam warna ukuran mini, ditaruh mengelilingi tumpeng besar. Boleh diletakkan di atas sayuran yang mengelilingi tumpeng besar.

Setelah ubo rampe semua selesai disiapkan, maka dimulailah berdoa. Doa boleh dengan tata cara atau agama masing-masing. Inilah fleksibilitas dan toleransi dalam ajaran Jawa.
Berikut ini contoh doa menurut tradisi Jawa;

Diucapkan oleh orang tua jabang bayi (ayah dan ibu);
“Niat ingsun nylameti jabang bayi, supaya kalis ing rubeda, nir ing sambikala, saka kersaning Gusti Allah. Dadiyo bocah kang bisa mikul dhuwur mendhem jero wong tuwa, migunani marang sesama, ambeg utama, yen lanang kadya Raden Komajaya, yen wadon kadya Dewi Komaratih..kabeh saka kersaning Gusti Allah.

Apabila orang tua beragama Islam, setelah doa secara tradisi, lalu bacakan surat Maryam atau surat Yusuf. Pilih di antara keduanya sesuai keinginan hati nurani. Jika feeling anda ingin membaca surat Maryam, biasanya jabang bayi lahir perempuan. Bila yang dibaca  surat Yusuf, biasanya jabang bayi lahir laki-laki.

Dalam tradisi Jawa, yang membuat bumbu rujak dilakukan oleh ibu jabang bayi. Jika bumbunya rasanya asin, biasanya jabang bayi lahir perempuan. Bila tidak kasinen (kebanyakan garam), biasanya lahir laki-laki.

Akan tetapi karna teknologi medis sudah sedemikian canggih, sampai ditemukan USG empat dimensi, jenis kelamin bayi sudah dapat diketahui lebih dini.

Acara mitoni atau tingkeban yang kami paparkan di atas adalah tatacara sederhana. Akan tetapi bukan berarti tidak absah, hanya tidak lengkap saja. Sedangkan tatacara yang lengkap yang biasanya masih dilakukan di kraton-kraton dan masyarakat Jawa yang masih kuat memegang tradisi. Rangkaian acara untuk upacara mitonisecara lengkap urut-urutannya yaitu;

Siraman, memasukkan telor ayam kampung di dalam kain calon ibu dilakukan oleh calon bapak, ganti baju tujuh kali,  brojolan(memasukkan kelapa gading muda), memutus benang lawe atau lilitan benang (atau janur), memecah wajan dan gayung, mencuri telor dan terakhir kendhuri.



Kesenian Ebeg Khas Cilacap


Kesenian adalah salah satu bagian dari kebudayaan dan merupakan hasil budi daya manusia. Bentuk kesenian yang ada di Indonesia adalah seni musik, seni lukis, seni drama, seni sastra dan seni tari. Perwujudan seni yang ada di masyarakat merupakan cermin dari kepribadian hidup masyarakat. Tinggi rendahnya peradaban suatu bangsa dapat dilihat dari kebudayaan atau kesenian yang dimilikinya, oleh sebab itu kesenian sebagai salah satu bagian dari kebudayaan perlu  dilestarikan dan dikembangkan.
Banyumas sebagai salah satu bagian wilayah propinsi Jawa Tengah, memiliki berbagai macam budaya, adat istiadat, dialek, makanan tradisional dan kesenian yang menarik, hal tersebut dikarenakan letak geografis Banyumas yang berada pada perbatasan dua etnis yang berbeda yaitu masyarakat Jawa Barat dengan etnik Sunda. Kesenian khas Banyumas tersebar di seluruh daerah-daerah sekitar Banyumans seperti di Purwokerto, Cilacap, Banjarnegara, Purbalingga, Gombong, Wonosobo, Kebumen, Purworejo, Kulon progo, dan Magelang. Kesenian-kesenian tersebut pada umumnya merupakan seni pertunjukan rakyat yang memiliki fungsi- fungsi tertentu berkaitan dengan kehidupan masyarakat pemiliknya. Kesenian yang berasal dari di daerah Banyumas antara lain,  Aplang, Buncis, Sintren, Angguk, Ebeg atau  Jathilan, Dhames, Baritan, Ujungan, Gamelan Calung, Wayang kulit, Jemblung, Begalan, Aksi muda, Rodat, Dhaeng, Sintren, Ronggeng, Ketoprak, Dagelan, dan Lengger Calung.

Ebeg merupakan salah satu kesenian yang banyak berkembang di daerah Jawa Tengah, khususnya bagian selatan hingga barat seperti Banyumas, Purbalingga, Cilacap, dan Kebumen. Ebeg merupakan jenis tarian yang bercerita mengenai kegiatan latihan perang para prajurit berkuda pada jaman dahulu dan memiliki ciri khas yaitu menggunakan kuda kepang sebagai alat tariannya. Dalam satu grup ebeg, biasanya terdiri dari 5 hingga 8 orang pemain dan diiringi oleh gamelan lengkap dengan perangkat-perangkatnya yang lazim disebutbendhe. Menurut beberapa sumber, tarian ebeg ini sudah mulai berkembang sejak zaman Pangeran Diponegoro. Tarian ini berupa dukungan rakyat jelata terhadap Pangeran Diponegoro dalam melawan penjajah Belanda. Tarian ini biasanya terdiri dari empat fragmen, yaitu dua kali tarian buto lawas, tarian senterewe, dan tarian begon putri. Tarian ini tidak memerlukan koreografi khusus, tetapi penarinya harus bergerak kompak. Sang penari dapat bergerak bebas mengikuti alunan musik gamelan.Walaupun seringkali dikaitkan dengan hal-hal yang bersifat magis dan ekstrem, namun pada intinya tarian ini memberi pesan yang sangat baik yaitu biasanya berisikan imbauan kepada manusia agar senantiasa melakukan kebaikan dan ingat dengan Sang Pencipta.
Kelincahan para penari merupakan simbol semangat dan kekuatan para nenek moyang kita dahulu. Di dalam suatu sajian Ebeg akan melalui satu adegan yang unik yang biasanya di tempatkan di tengah pertunjukan. Atraksi tersebut sebagaimana di kenal dalam bahasa Banyumasan dengan istilah mendhem. Pemain akan kesurupan seperti halnya makan belingatau pecahan kaca, makan dedaunan yang belum matang, makan daging ayam yang masih hidup, berlagak sepeti monyet, ular, dan sebagainya.
Ebeg termasuk kesenian yang tergolong cukup diperhitungkan dalam hal umur. Diperkirakan kesenian jenis ini sudah ada sejak zaman animisme dan dinamisme. Salah satu bukti yang menguatkan Ebeg dalam jajaran kesenian tua adalah adanya bentuk-bentuk intrans atau wuru. Bentuk-bentuk kesenian ini merupakan ciri dari kesenian yang terlahir pada zaman animisme dan dinamisme.

Dalam kegiatan ebeg memerlukan banyak persiapan dalam hal perlengkapan maupun kesiapan fisik dan mental para pemain. Acara biasanya di mulai setelah waktu sholat duhur atau sekitar jam 1 siang sampai jam 5 sore. Peralatan yang perlu dipersiapkan sepertiGendhing pengiring yang dipergunakan antara lain kendang, saron, kenong, gong, dan terompet. Selain gendhing dan tari, ada juga ubarampe yang harus disediakan seperti bunga-bungaan, pisang raja dan pisang mas, kelapa muda (degan), jajanan pasar, dan lainnya. Untuk mengiringi tarian ini selalu digunakan lagu-lagu irama Banyumasan sepertiricik-ricik, gudril, blendrong, lung gadung, cebonan, dan sebagainya.
Jumlah penari biasanya 8 orang dua diantaranya penthul-tembem, satu orang sebagai pemimpin ataudalang dan 7 orang lagi sebagai penabuh gamelan. Dan satu grup ebeg biasanya terdiri dari 15 orang atau lebih. Semua penari menggunakan alat bantu ebeg dan si penthul-tembem memakai topeng. Tarian ini termasuk tarian missal, jadi biasanya tarian ebeg dilakukan di tempat luas seperti lapangan ataupun pelataran rumah yang cukup luas.
Ketika para penari mulai kesurupan atau yang dikenal dengan mendhem. Pada saatmendhem, para penari sedang dirasuki oleh indhangIndhang adalah roh halus yang dapat merasuki orang dan memberikan kekuatan tertentu kepada orang tersebut sehingga ia dapat mencapai suatu tindakan yang melebihi kemampuan manusiawinya. Adanya Indhang dalam kesenian ini merupakan mitos masyarakat Banyumas. Mitos merupakan sebuah keyakinan, kepercayaan yang ada dalam kehidupan masyarakat dan sebagai hasil kebudayaan yang mentradisi sejak zaman dahulu sampai sekarang.
Pada babak ebeg-ebegan, indhang yang datang bukanlah indhang yang baik, tetapiindhang jahat/brangasan sehingga penari ebeg yang telah kerasukan indhang akan mencapai keadaan trance yang membuatnya mampu melakukan hal-hal yang tidak masuk akal, misalnya: memakan pecahan kaca tanpa terluka, memegang bara api tanpa menjadi terbakar, duduk dengan menggunakan pisau tetapi tidak terluka, dan ada yang mengajak berkelahi penonton apabila  indhang yang masuk merupakan  indhang yang jahat dan memiliki dendam dengan seseorang sewaktu hidupnya. Gerak para penari yang sudah kerasukan indhang sangat berbeda dengan gerak penari lainnya. Para penari yang tranceatau mendem (ndadi) mereka sudah memiliki kekuatan, stamina yang lebih bahkan mampu melakukan kegiatan di luar jangkauan manusia biasa. Mereka makan kaca/beling, bara api, padi, bunga, kreweng atau pecahan genting dan makan ayam hidup-hidup.
Untuk mendapatkan indhang para penari ebeg harus melakukan ritus. Keberadaanindhang yang merasuki penari ebeg sebagai kekuatan yang berasal dari alam lain membuat para penari melakukan cara-cara khusus untuk mendapatkannya. Penari yang memperolehIndhang harus melakukan laku tirakat. Laku tirakat adalah menjalankan sikap-sikap hidup sederhana dalam arti yang sesungguhnya, hidup bersih dan melakukan berbagai kegiatan upacara yang meningkatkan kemampuan untuk berkonsentrasi dengan jalan pengendalian diri, dan melakukan berbagai latihan semedi. Dalam hal ini, biasanya penari ebeg harus melakukan puasa weton atau puasa hari lahir, puasa Senin-Kamis, dan bersemedi dipetilasan Brawijaya.
Di samping Indhang manusia, danyang Brawijaya sering memberikan indhang binatang, seperti kuda, buaya, dan monyet. Seorang penari yang kerasukan indhang kuda menunjukkan perilaku yang mirip dengan kuda seperti melompat-lompat, meringkik, menyepak-nyepak sambil mengibaskan ebegnya, memakan makanan yang biasa dimakan kuda yaitu bekatul, beras, bunga kantil, bunga melati, daun papaya, dan rumput yang ada di sekitar pemain atau sengaja disediakan. Kalau belum tersedia biasanya penari yang sedangtrance akan meminta melalui pawangnya.
Penari yang kerasukan indhang monyet biasanya akan melepaskan property ebeg yang dipakai. Penari bergerak, bersuara, dan berteriak-teriak sambil meperlihatkan giginya, memanjat pohon, memetik buahnya, memakan buah sambil bergelantungan di pohon seperti yang dilakukan monyet. Penari juga dapat mengupas kelapa dengan giginya, memecahkannya dan memakan buah kelapa tanpa alat bantu yang lain. Penari yang sudah kerasukan indhangbuaya akan bergerak layaknya seekor buaya. Penari akan berguling-guling di tanah, merangkak sambil meliuk-liuk, meminum air, dan memakan makanan yang layaknya dimakan buaya.
Dalam ebeg, saat para penari mendhem menunjukan kakuatan satria, demikian pula pemain yang menaiki kuda kepang menggambarkan kegagahan prajurit berkuda dengan segala atraksinya. Biasanya dalam pertunjukan ebeg dilengkapi dengan atraksi barongan, penthul dan cepet. Tidak jarang penonton ikut terbawa dengan atraksi tersebut. Secara tidak sadar, beberapa penonton akan mengikuti gerakan  dari si penari kuda lumping, ikut menari bersama penari kuda lumping lainnya. Hal tersebut karena mereka dari penonton telah terkena roh penari kuda lumping.
Semua penari yang kerasukan Indhang akan bergerak dan menunjukkan aksinya dalam waktu yang tidak sama. Proses penyembuhan dari trance dilakukan oleh pawang dengan cara memberikan air putih yang sudah diberi mantra kepada penari yang sedang trance dan penari memberikan bisikan kepada pawangnya atau penari lain untuk menyediakan syarat yang diminta oleh indhang. Setelah syarat dipenuhi maka penari dipegang ubun-ubunnya dan dibisiki mantra-mantra, ditiup ubun-ubunnya. Penari yang sudah disembuhkan akan terjatuh dan tidak sadar selama beberapa menit sampai indhang yang ada dalam tubuhnya menghilang atau kembali ke alamnya. Proses penyembuhan oleh pawang tidak selamanya mulus ada yang  indhang tidak mau pergi dari tubuh penari sebelum disembuhkan dengan cara khusus, yakni meminta kepada pawang untuk ditidurkan di atas dua buah alat penumbuk padi atau dalam bahasa jawa disebut alu, kemudian ditutup dengan kain diangkat oleh beberapa orang dibawa berputar-putar baru diletakkan di atas tanah, didiamkan sampaiindhang tersebut pergi, penari akan sadarkan diri dan membuka kain itu sendiri kemudian berdiri seperti tidak terjadi apa-apa dalam dirinya.
Seiring dengan perkembangan jaman, kesenian ebeg mulai jarang ditemukan. Banyak kesenian modern yang dinilai lebih menghibur oleh masyarakat dibandingkan dengan kesenian tradisional seperti ebeg yang kaya akan nilai budaya. Di Cilacap, ada salah satu grup  ebegyang masih bertahan di tengah era globalisasi. Grup ebeg tersebut bernama Grup Kesenian Ebeg Sekar Lathi yang berasal dari Jalan Ganggeng RT 1 RW 9, Kelurahan Mertasinga, Kecamatan Cilacap Utara, Kabupaten Cilacap. Grup ebeg ini dibentuk pada tahun 1992 atas prakarsa Sujadi Mijan bersama tiga warga lain yaitu Suyatno, Sukiwan, dan Tarwin. Alasan mereka mendirikan grup ebeg adalah karena pada satu itu tidak ada kesenian daerah yang eksis dari daerah tempat tinggal mereka. Grup ini sempat vakum dan baru aktif kembali pada tahun 2009 dengan ketua baru yang bernama Minulyoko. Di bawah kendali pemimpin baru, tahun 2011 Sekar Lathi menyabet juara dua saat perayaan Hari Jadi Kabupaten Cilacap dan mendapat penghargaan juara pertama atau penampil terbaik dalam ajang Cilacap Anti Corruption Cilacap Fest 2012 yang diselenggarakan di Lokawisata Benteng Pendem Cilacap. Bersahaja, disiplin, dan kompak adalah hal yang wajib dijunjung tinggi oleh semua personel. Sejak awal dibentuk, pertunjukan yang dibawakan oleh  Sekar Lathi selalu mengacu pada pakem kesenian ebeg jaman dulu. Semua proses dalam tiga babak pertunjukan juga masih sangat tradisional dan klasik.


Friday, January 9, 2015

Gegayuhanku
Dening Lasmiyati
“Nduk apa kowe isih duwe gegayuhan nerusake kuliyah bibar lulus SMA sesuk ?” pitakon ibune Tuti sing lagi nyirami tanduran ana ing pakarangan mburi omah. Tuti ana ing kono mangsuli “Inggih bu, kula pancen gadhah pangarep-arep saged kuliyah ing Universitas Negeri Semarang!”. Bu Salem terus wae neges mengkene “Universitas Negeri Semarang kae sing ana ing kota Semarang kuwi sing dadi tujuanmu kanggo kuliyah ?” Tuti lancar wae mangsuli pitakon ibune “Inggih bu leres, awit alit kula sampun gadhah cita-cita kepengin dados panulis karya sastra mliginipun sastra jawa. Mila kula kedah mundhut jurusan sastra jawa kanggo nuwuhaken hobi kula ingkang remen nyerat niki”.
“Ya wis nek pancen kuwi cita-citamu bisa uliyah, mugi-mugi anggonmu kuliyah bisa dadi kamulyan kanggo panguripan ing mbesuk emben.” Bu Salem namung bisa sumaur mengkono lan mujikake anak wadone.
Saya suwe anggone ana ing pakarangan saya akeh tanduran sing wis disiram. Nanging bu Salem kepengin nandur kembang kamboja. Panjenenganipun ngundhang adhine Tuti sing jenenge Rama “ Ma... Rama...ibu paculana lemah iki kanggo nandur kembang kamboja “. Bu Salem duwe anak loro lanang wadon. Tuti dadi pembareb kudu bisa dadi tuladha kanggo adhine. Rama sing ana ing njero omah krungu dhawuhe ibune, dheweke gageyan mentu lan mangsuli “ Inggih bu sekedhap, madosi pacul rumiyin!”. Pacule ketemu dheweke terus macul lemah mau nganthi kepentut. Ibune moni mengkene “Kowe bocah lanang macul ya kaya ngono kuwi sing rosa nanging ya aja nganthi kepentut ta!”. Rama terus wae macul ora nggagas omongane ibune. Wewangen warni-warnine kembang ing kebon marahi bu Salem betah, ora yen jagade wis sore lan labuh peteng.
Omahe bu Salem sing dadi garwane pak Sadi ana ing prapatan dalan kanggo tumuju sekolahan mula saben dina wayah esuk dalan kuwi rame anggone bocah padha mangkat sekolah. Bocah mau nganthi puluhan. Ana sing nyepedha, ana sing mlaku, ana sing nyepedha montor kabeh padha banter-banteran kepengin tekan gisitan. Omah-omah liyane padha adoh saka papan ramene bocah sekolah mau.
Jagad saya peteng saya peteng Tutu bibar adus weruh adhine arep nyapu jogan tengah papan kanggo nonton TiVi, dheweke ngomong “Dhek wis adusa tak sapune aku wae, wis sore enggal maghrib ndak telas sholat maghribe”. Rama budhal menyang sumur lan menehke  sapu marang mbakyune. Kaluwargane pak Sadi kagolong kaluwarga sing harmonis, ora tau ana congkreh antarane anak karo wong tuwane. Kagolong rumah tangga sederhana nanging ya cukup, gajine pak Sadi dadi PNS nyambut damel ana ing kantor desa. Wengi kuwi kaluwargane pak Sadi padha lungguhan sinambi nonton TiVi, pak Sadi ndhawuhi anak wadone “Tut bapak gawekna wedang kopi nanging aja kelelegen sing sedeng wae!”. Tuti mangkat menyang pawon karo mangsuli “Inggih pak”. Bu Salem saka pawon nggawa gorengan gedhang. Dadi lengkape wedang kopi, wayah kuwi ya udah tumetese banyu dadi angete kanggo kumpule kaluwarga.
Tuti karo adhine pancen rukun banget bocah loro kuwi jarake pancen ora adoh namung kacek patang taun. Tuti kelas telu SMA umure wolulas taun, adhine sing kacek patang taun nembe kelas loro SMP. Kadhang kala bocah loro kuwi padha sinau bareng guyup rukun. Ijig-ijig Rama moni mengkene “Mbak sekolahmu kanggo mengeti pitulasan ana lomba apa wae ta?” Mbakyune mangsuli “He aku durung ngerti dhek lombane apa wae, aku kepengin nyoba ngirim hasil tulisanku marang panjebar semangat”. Rama setuju bnaget marang sing diomongna mbakyune. Sebab dheweke ngerti yen pancen tulisane mbakyune kuwi apik, bener-bener bisa diomong duwe bakat ana ing bidang sastra. “Lho bener kandhamu mbak, panjenengan kudu wani ngirim hasil tulisanmu menawa diterbitke”.
“Ya dhek iki aku meh nyoba ngirim. Nanging kandhane pak Guruku kudu tlaten ngirim biasane sing diterbitke sing wis ngirim ping akeh, tapi ya muga-muga aku lagi ngirim terus diterbitke”. Tuti sumaur karo mbukak laptop sing wis diarepake. Tuti pancen bocah cerdas lan ayu, nanging dheweke ora tau ngakoni yen dheweke rumangsa luwih saka kanca-kancane sing saumuran karo dheweke. Dheweke namung kepengin kapinterane migunani kanggo tiyang kathah, ora mung pinter kanggo awake dhewek. Nek adhine pancen duwe sifat manganan nanging dheweke manut ora kaya bocah lanang-lanang liyane sing namung padha gembelengan thok.
Pak Sadi lan bu Salem bangga banget duwe anak loro sing bisa gawe bungah atine. Hebat kabeh. Mula pak Sadi setuju yen lulus SMA Tuti nglanjutake kuliyah ana ing Universitas Negeri Semarang kana. Tuti saben ndonga mesthi ngomong mengkene “Aku sabisa-bisane kudu dadi kebanggaan wong tuwaku, kudu bisa dadi tuladha sing becik kanggo adhiku. Mugi Gusti ngijabahi kabeh gegayuhanku”. Nanging dheweke kadhang cilik ati ora percaya dhiri apa dheweke kira-kira bisa dadi panulis sing misuwur kaya Asma Nadia idolane kuwi.
Monine jam nyunjukake yen wis wengi wis wayahe kanggo turu, saka meja sinau Tuti menyat mapan turu ana ing paturon. Dheweke ora bisa-bisa merem, matane ngantuk nanging pikirane urip terus, dheweke wedi yen nganthi ora bisa ketrima lan kuliyah ana ing Universitas Negeri Semarang mau. Nanging wengi saya wengi dheweke bisa merem lan turu angler. Jam papat jagone wis kluruk Tuti gageyan tangi, menyang sumur wudhu terus sholat subuh nglakoni kuwajibane umat muslim. Kaya adat saben dheweke terus ngewangi ibune ana pawon, “Bu...sakmenika nyayur napa?”
Iku iket-iketan kangkung diudari, diprithili ndang dikumbah. Ibu ta gawe bumbu.” Sumaure bu Salem karo terus nguleg bumbu mau. Tuti gageyan njupuk kangkung terus diprithili lan dikumbah. Bibar umbah-umbah kangkung dheweke terus nyekel sapu, nyapu kabeh jogan. Saben isuk Tuti paling ya mung bisa ngewangi gawean ibune kaya mengkono, amarga dheweke ya kudu mangkat sekolah gasik. Nyapu rampung dheweke terus menyang sumur adus terus macak lan sarapan ana ing meja bareng adhine lan bapake.
Isuk kuwi jam enem seprapat kabeh panganan wis cumawis ana ing meja. Masakane bu Salem pancen enak mula anak-anake lan bojone ora tau njajan ana ing njaba. Masakan apa wae numani anak lan bojone merga anggone masak tenanan lan pancen enak. Rama ngundhangi ibune “Bu...bu...bu...ngenjang masak sayur kangkung malih nggih, kula remen sanget kaliyan masakanipun panjenengan “. Karo umbah-umbah piring ibune mung mesem lan manggut. Ora mung kaping loro, telu Rama ngalem masakane ibune. Monine banyu tetes telung tetes mratandhani yen isuk kuwi udan.
Adhuh udan, piye iki mangkat sekolahe mbak?’’ takone Rama marang mbakyune. Mbakyune mung nyengir.
“Wayah wong budhal nyambut gawe malah udan!” ngeluhe pak Sadi.
“Wis ta pak aja ngeluh kaya mangkono banyu kuwi nggawa rejeki kari ndonga wae muga-muga enggal terang “ Omonge bu Salem karo nggawakna tas kantore bojone.
“Iki sangune Nduk, Le” bu Salem nggawa dhuwit ewon karo ngecungake marang anake. Iki telung ewu kanggo kekalih, nyewon”. Rama lan Tuti mangsuli “ Inggih buuu....”
“Lhah dhelok kae terang ndang padha budhal ta” monine bu Salem . Tuti gageyan njupuk tas lan pamitan marang wong tuwane “Pak bu tuti mangkat rumiyin.”
“ Ya ngati-ati Nduk” wangsulane bu Salem karo bojone. Mentu omah Tuti wis dienteni kancane sing jenenge Dwi, Tuti pancen bocah sing priyatin sekolah SMA wae esih gelem nyepedha ora kudu numpak montor kaya bocah-bocah jaman saiki. Bocah loro kuwi mau banjur mangkat bareng.


Cuthel

Saturday, January 3, 2015

Piranti Kanggo Pagelaran Wayang


Bonang

celempung


gambang


gender




gong

kendhang

kenong

kethuk-kempyang

saron

Friday, January 2, 2015






RESENSI NOVEL SUPARTO BRATA “CINTRONG PAJU-PAT”

Disusun guna memenuhi tugas Ujian Akhir Semester Mata Kuliah Menulis Kreatif







Oleh
Lasmiyati
(2601413048)
Rombel 2







BAHASA DAN SASTRA JAWA
FAKULTAS BAHASA DAN SENI
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
2014
RESENSI NOVEL SUPARTO BRATA

Judul Novel                      : Cintrong Paju-Pat
Penulis                             : Suparto Brata
Penerbit                            : Penerbit Narasi
Tahun Terbit                     : 2010
Tebal Novel                      : 312 halaman
No. ISBN                         : (10) 979-168-250-X
                                          (13) 978-979-168-250-3
Dimensi ( ukuran buku ) : 14,5 x 21 cm
Jenis Kertas                      : HVS
Sinopsis
Novel Cintrong Paju-Pat nyritakaken Abritawarni kang nduweni profesi selebritis sinetron, dijodhokake karo dhirektur anom Manahira Adsvertising Agency sawijining Production House, kang aran Luhur Dirgantara. Nanging Abrit sejatine nduweni rasa sir seneng marang tilas kanca kuliyahe kang aran Trengginas. Bapake Abrit, Bathara Mayamaya, nate dadi Danrem ana Surabaya, uripe nang Jakarta rada ketleyek, sawise pensiyun. Suwalike Satuhu Manahira. Kapten tilas klerehane, bapake Luhur iki sukses mbukak usaha rumah prodhuksi. Saiki sugih mblegendhu. Lumrah menawa Bu Bathara setengahe sengaja nyonyok-nyonyokake anake wedok ben dipangan Luhur. Lire, yen gegandhengan mau kelakon dheweke bisa nunut mulya. Ora bakal ulap maneh ambyur ing satengahing pasrawungan kaum jetset Jakarta sing sarwa gumebyar. Dene Trengginas luwih nduweni simpati marang Lirih Nagari lan ngentebake pilihane marang wanodya prasaja nanging pinter kuwi. Semono uga Luhur Dirgantara sanadyan dijodhokake karo Abrit nanging nduweni kemanteban pilihan marang Lirih, emane wis kedhisikan Trengginas kang wis ngajokake lamaran dinane pas Lirih di PHK dening Bu Arum saka Manahira Advertising Agency, amarga dipaekake dening Abrit. Dene Abrit bebasan ngundhuh wohing pakarti, ora sida kelakon sesandhingan klawan Trengginas apadene Luhur Dirgantara, nanging malah ditinggal Luhur bali menyang Amerika, lan kudu mbalekake kerugiane Metro Manunggal Film gedhene telung milyar.



Tema : Emansipasi wanita kang awujud katresnan
Latar Belakang :
 Omah : “Omah kuwi panggung tingkat loro, magrong-magrong, ngisor kamar tidhure papat, ndhuwur telu, durung kepetung kamar pembantu, garasi, sepen lan kamar mandhi ngisor-ndhuwur. Ruwang keluwargane ngoblah-ngoblah jembar, dipasangi meja kursi lan sofa pirang-pirang setel, racake sarwa gumebyar”.
Kantor Production Manahira Adsvertising Agency : “Rapat bubar. Metu saka ruwang rapat, Abrit kesusu bareng-bareng dhesekan marani lift”.
Jakarta : “ Kowe ki niyatmu menyang Jakarta golet panguripan apa mung arep blayangan piknik? Lagek seminggu kloyongan neng kutha, wis nglokro, njaluk rekreasi. Aku wingi-wingi isih neng Caruban rak wis kandha. Yen mung weton SMA wae golet penggawean kantoran ing Jakarta mesthi kangelan. Paling-paling dadi PRT. Sesuk-sesuk ndaftara wae menyang agen penyalur PRT. Ndang oleh penggawean “.
Hotel Sangkuriang : ” Isuk-isuk, Luhur wis metu saka Hotel Sangkuriang. Sarapan ing kantin, terus mlaku-mlaku kaya sing dijangka, dirancang “.
Cipanas : ” Esuk kuwi dheweke metu saka hotel wis cepak-cepak bakal ngumbara ing wilayah tanah pegunungan Cipanas kono”.
Waktu :
Esuk : “ Wis kulina, isuk umun-umun, Arum Satuhu wis uwet ing pawon, nyiyapake sarapan kanggo sing padha dhahar arep lunga kantor “.
Awan : “ Wayah ngaso umum jam rolas. Abrit ganti klambi srat-sret, nguculi sandhangane pentas, nganggo klambine dhewe “.
Bengi : “ Tekan ngomah wis bengi. Trengginas kanthi jatmika ngeterake lan masrahake Lirih marang Madusari lan Pikoleh tekan omahe ing Duren Sawit “.
Suwasana :
Kuciwa : “  Nguciwani. Sapatemon karo Abrit kuwi jan nguciwani banget. Luhur tatu atine. Dheweke kipa-kipa gage oncat saka papan shooting, marga ngrasa isin banget ditampik terang-terangan dening calon tunangane “.
Kaget : “ Luwar biyasa. Shooting sinetron dina kuwi lakune lancar. Jam setengah papat wis rampung. Arang bisa kelakon kaya mengkono. Ora mung pas wektu sing dijadwal, nanging malah rampung sadurunge jam sing dirancang. Kebeneran serngenge sing ngglewang ngulon wiwit ketutup pedhut, wiwit eyup, kurang padang diserot ing kamera “.
Seneng : “ Kabeh seneng. Trengginas ya melu seneng. Ngadege cedhak Lirih sing lagi wae menyat saka kursi ngarep monitor, arep aweh salam tangan, tangane Lirih isih digoncang-goncang dening Marsidik, mula terus wae ganti cara anggone aweh salam. Awake Lirih dirangkul tangan kiwa, direngkuh dipepetake marang awake, isih karo ngetut polahe Marsidik sing durung ngeculake tangane Lirih “.
Sedhih : “ Embuh Mbak. Pikiranku lagi puthek, gak isa mikir. Dhirektur Anom Luhur muter kursine, ngadhepi mbakyune. Pait critane. Ra sah dakwadulake. Abrit rasane ya kaya aku. Pengin bebas milihjodhone. Ngono wae. Dadi pihak kana, karo pihak kene, sing padha arep nglakoni, wegah ngraket. Oleh, ya, Mbak, ngono ?”.
Alur :  Cariyos Cintrong Paju-Pat nganggo alur maju mundur alias campuran sebabe nyariyosaken wekdal kepungkur kaliyan wektal sangarepe sing lagi dilakoni
Kutipan : “ Caruban adoh gunung, cedhak alas jati. Dolan-dolan ing als jati, Lirih wis kerep. Yen munggah-mudhun gunung durung. La saiki Cipanas, tanah pegunungan. Papane mendhak mendhukul, lan ana perangan-perangan kang wis gundhul, dadi ara-ara, pomahan, tegalan. Ing kono sesawangan ora kedhang-dhangan wit ketel dhuwur kaya ing las jati. Panorama dadi bawera. Gek hawane adhem. Lirih wis ngumbara ngubengi gunung-gunung anakan sing pating jenggeleng, pencolotan mlangkahi kalenan, kethekelan meneki punthuk padhas, keceh ing kaln kang banyune kemriwik mili santer bening lan anyep, nanging meksa ora kesel. Iki beda. Urip kang beda. Dudu alas, dudu temboke gedhonh nyakar langit, dudu tumpakan sing pating sliri, nanging mripat nyawang kang omber bawera. Sing disedhot dudu beluke bensin diobong. Nanging hawa adhem pegunungan alam murni kang seger. Lirih ambegan jero. Kelegan”.
“ Lirih terus wae nyekel komputer. Durung tutug Maniking ngandhan-ngandhani, Lirih wis wiwit ngetiki surat sing dikarepake. Dhisike nak-nuk alon, bareng wis weruh mapan, kecepatane ngetik saya cepet saya cepet. Cepet banget “.
“ Lirih. La apa kowe jejer empet-empetan karo Mas kuwi ? La apa njedhul  saka omahe barang? Uruse Luhur. Biyen kancane Abrit, kanca kenthel. Saiki aku tunangane Dhik Lirih. Iki mau mentas daklamar. Mesakake, dheweke crita jare mentas dicopot saka penggaweane. Dadi ya arep dakopeni. Muni mangkono Trengginas karo nggandheng lengene Lirih. Dhirektur Anom aja nglayu layung kaya mengkono. Kowe isih duwe Mbak Abrit. Ayu, sugih, misuwur. Becike muliha wae, openana Mbak Abrit Aku wis ana sing ngopeni. Mas iki. Karo gandhengan lengen dadi ngrangkul nglingker geger bangkekane. Tandha cintrong “.
Gaya bahasa : Bahasa ingkang dianggo ana novel Cintrong Paju-Pat bahasa jawa pedinan lan istilah modheren uga akeh campuran bahasa inggris.
Kutipan : “ Ing surat kabar dipasang gambare ngegla, Abrit Mayamaya karo dheweke, Luhur Dirgantara. Ing latar mburi sanajan bureng, ora fokus, katon fotone ibu lan bapake. Kuwi genah potret sing dicepret dhek wingi, ing ruwang Dhirektur Pratama kantor bale Prodhuksi Manahira Adsvertising Agency. Acara gendheng-gendhengan “.
“ Lek ngono nggaea mobilku ae, ya. Gawanen sakarepmu. Pokoke budhal ndhuk Cipanas, nggone shooting “.
“ Enggih. Nggih niku ratu iklane sabun luxor. Niku mau dados figuran, gratis, mboten sah dibayar, anggere diambung Abrit Mayamaya kados wau. Diambung wong sing ayune sumlohe kaya ngono-hee “.
“ Solahe wong diksiya apa ora waleh ta, para sutradhara kuwi ngleler adegan solahe wong brangasan nyiksa wong liya ?”
“ Jare dipocok dadi instruktur babagan komputer ngganteni Pak Teja sing lagi cuti “.
“ New broom sweeps clean. Trengginas noleh nyang Abrit karo uwet mbenakake tali helme “.
“ Yes, yes. Its finished already. Okey. Very good. Thank you. Would you please....”
Amanat :
 1). Dadi wong wedok kudu nduweni harga diri sing duwur, 2). Tresna asih ora kudu nduweni, 3). Emansipasi wanita kudu dijumbuhake ana ing panguripan, wong wedok karo wong lanang saiki drajate padha, 4). Dadi wong wedok kudu nduweni tata krama, sopan santun, 5). Aja nilai wong amung saka raga utawa ayune nanging solah bawane, kepinterane uga dinilai.
Penokohan :
Lirih Nagari : Teguh
“ Sampun, ta, Bu. Sampun. Kula mboten menapa-menapa, kok. Kula malah mboten sekeca upami tetep kepareng nyambut damel ing ngriki, nanging dipuntedah  dados begundhal, ature Lirih kanthi tatag lan teges. Lan terus menyat “.
Abrit Mayamaya : Cemburuan, Anggak/sombong, Judhes
“ Embuh. Nanging aku dhek mau kae ngonangani, Luhur kuwi mata kranjang. Wegah aku ngladeni wong kaya ngono. Bandha ya ora dakgoleti, kenapa kudu kawin karo wong sugih ?”
“ Males Mbak. Jadwal shooting kaya ngono riyele, sela sithik wegah aku lunga-lunga. Seneng klekaran wae neng omah. Pak, Bu aku budhal. Sori, ya , Mbak. Aku wis semayan karo kancaku. Daktinggal, ya. Mas, sampeyan ki ya pekerja keras, ya. Pantes tenan dadi wakil dhirektur. Abrit karo kesusu ngambungi bapak, ibu, Langit, lan salaman karo Suradira. Puspa mung dijawil “.
“Kowe mau kepriye, ta, Rih ? Kok nganthi bengkerengan karo Mbak Abrit ?”
“ Embuh ayu-ayu kok judhese kaya ngono. Amit-amit ya ngono kuwi yen kulina main sinetron. Pribadine, tingkah polahe kaya perane ibu kwalon kabeh “.
Luhur Dirgantara : Getunan
“  Nguciwani. Sapatemon karo Abrit kuwi jan nguciwani banget. Luhur tatu atine. Dheweke kipa-kipa gage oncat saka papan shooting, marga ngrasa isin banget ditampik terang-terangan dening calon tunangane “.
“ Embuh Mbak. Pikiranku lagi puthek, gak isa mikir. Dhirektur Anom Luhur muter kursine, ngadhepi mbakyune. Pait critane. Ra sah dakwadulake. Abrit rasane ya kaya aku. Pengin bebas milihjodhone. Ngono wae. Dadi pihak kana, karo pihak kene, sing padha arep nglakoni, wegah ngraket. Oleh, ya, Mbak, ngono ?”.
Trengginas : Melasan/eman
“ Lirih. La apa kowe jejer empet-empetan karo Mas kuwi ? La apa njedhul  saka omahe barang? Uruse Luhur. Biyen kancane Abrit, kanca kenthel. Saiki aku tunangane Dhik Lirih. Iki mau mentas daklamar. Mesakake, dheweke crita jare mentas dicopot saka penggaweane. Dadi ya arep dakopeni. Muni mangkono Trengginas karo nggandheng lengene Lirih “.
Bu Arum Satuhu : Nesunan
 “ Kene. Lungguha kene pakone Arum marang Lirih, ngakon lungguh ing ngarepe, dikupengi para pangarsa prusahakan. Lan tanpa taha-taha, Arum terus wae ngomong bantas,”Ngene, ya. Aku wingenane rak wis kandha. Kowe ora oleh srawung karo Luhur. Aja maneh ngesiri, nggodha, srawung wae ora oleh. Sanajan penggaweane sak kantor. Luhur kuwi Dhirektur Anom, kowe kuwi mung pegawe biyasa. Mung saking kemayumu thok, Luhur ketarik kokgodha. Lan kowe ya wis sumpah, ora bakal srawung karo Luhur. Nanging, apa nyatane? Kowe glibetan wae neng sandhinge Luhur. Mula aku wis ora bisa sabar maneh. Kowe dakcopot. Wiwit dina iki ora sah nyambutgawe neng kene. Ngreti kowe “.
Langit Nilakandhi : Bijaksana lan sabar
“ Aku ora trima. Lirih iki dadi tanggungjawabku. Ora kena dheweke disawiyah kaya mengkono. Ora adil dheweke dicopot marga saka fitnah. Dheweke ora nglakoni kaya apa sing diarani dening Ibu mau. Lirih ora tau ketemu Dhimas Luhur ing kantor kene. Upama ketemua, ya mesyhi Dhimas Luhur sing karep “.
Bu Kinyis : Matre/seneng dunyane thok
“ Abrit,,Abrit... Aja mung bisa nyacat kulite thok. Wawasen isine, Dhik Satuhu lan Jeng Arum, wis genah terang-terangan, ora lila yen nganthi prusahakan kuwi andhile gedhe dikuwasani dening anak mantu. Sing dikepengini anake lanang. Mula disubya-subya disekolahake nyang Amerika, lan saiki digolekake bojo sing ora baen-baen kuwalitase. Nak Luhur sing digadhang dadi ahli warise, kowe sing dipilih dadi jatukramane si ahli waris. Ngono wose sing daksemak anggone milih kowe “.
“ Cintrong ki ya bisa dikendhalekake karo pikiran waras. Rasional. Pikiren, ta. Trengginas kuwi penggaweane apa, uripe kepriye? Numpak sepedha montor, kandhamu ta? Dene Nak Luhur, kowe ngreti dhewe kasugihane sepira, pendhidhikane weton Amerika. Tumpakane Blazer Montero. Iki, karo nudingi larapane Kinyis Mayamaya nutuge omong, menungsa kuwi diparingi pikiran dening Allah, gunane dienggo mikir. Urip rasional. Nalar “.
Maniking : Royal
“ Lirih luwih somah. Maniking kerep lelungan lan klebune boros, seneng foya-foya. Ora papa, bayarane cukup, isih enom, legan. Golek pasangan kanggo urip jaman mbesuke mesthi wae tetep diangkah, disembadani sarana urip kang mubra-mubru “.
Madusari : Dahwen
“ Kowe mau kepriye, ta, Rih? Kok nganthi bengkerengan karo Mbak Abrit? Pitakone Piko sawise Trengginas lunga. Madu ya melu pasang kuping lan mripat “.
Tokoh Figuran : Bapak Bathara Mayamaya, Bapak Satuhu, Pikoleh, Ndaru, Tatok, Marsidik, Titien, Jingga, Sakura, Suradira, Srinawang, Roni.
Sudut Pandang : Sudut pandang novel Cintrong Paju-Pat karya Suparto Brata menurut kula ngagem sudut pandang Orang ketiga serba tahu, sebab pangripta nyritakaken kanggo werna-wernane jeneng sing bisa dadi kembange alur crita.
“  La aku gregeten karo gemes banget, le, karo dheweke. Ketemu karo aku, srawung suka seneng, ora ngaku yen dheweke pegawe kene. Ngono kuwi rak nggregetake, wong aku kebacut cintrong. Olehku nggoleki setengah mati, lo sawise aku pisah karo dheweke. La dheweke misah dadkan, pawadane arep shooting. Ngono kuwi apa ora nggemesake? Hihh. Sik, Mbak, dakjewere kupinge”.
“Luhur,, Luhur Adhimas. Elinga iki kantor. Aja sembrana. Kowe salah. Pancen nalika andon suka karo kowe nalika samana, Lirih dudu pegawe kene “.
“ Nanging ngakune sripanggung, shooting bareng karo Abrit “.
“ Ora kowe salah tampa. Wis, ta, aja kok siksa bocah iki. Kowe kudu njaluk ngapura. Yen ora kowe daktuntut wis ngenyek nyenyamah wanita. Ayoh ngadoh mrana “.
Kaluwihan Novel:
Menurut kula akeh banget kaluwihan novel karya Soparto Brata kadosta :
1). Wose novel maringi tuladha tata krama anggone cah wedok ngomong kalih wong sepuh
Ana ing celathune ibune Abrit mengkene: “ His, ya njenggeleka, ta, Brit. Gek pupune ditutupi kuwi. Ngomong karo wong tuwa kudu sopan “.
2). Novel iki njunjung banget sastra jawa, yaiku mligine sastra jawa modheren
Ana ing dilaoge Lirih karo Abrit sing kekeh mbelani jenenge Lirih Nagari ana artine: “Aku eram. Wong guru SD wae, kok olehe njenengake anake dtlusupi aji-aji sing nyemangati bakal urip jabangbayi “. “ Aja nyawang ndesane. Elinga bapakku kuwi ngguleti sastra Jawa. Sastra Jawa kuwi piwulang budi luhur. Sing sapa mbatih lan ngrungkebi sastra jawa, mesthi luhur budine. Saora-orane sanajan ora menangi bapak, aku rumangsa tetep nampa piwulange, marga maca buku-buku sastra jawa sing dgeluti nang bapak. Aku, Mbakyu lan kakanhgku ora disangoni bandha dening bapak, nanging disangoni sawab prabawaning ngaurip kang rinegem ing sastra. Antara liya daksandhang ing jeneng. Jeneng dadi dhasar lelabuhane uripku. Diwarisi jeneng, tansah daksandhang, ora bisa direbut wong liya “.
3). Novel iki njunjung era feminisme, emansipasi wanita dikawigatikaken
Ana ing celathune Trengginas marang Lirih : “ Era feminisme, jee, aja lali. Drajat, pangkat, hak lan kewajibane manungsa lanang lan wadon dituntut padha. Abot, entheng, disangga padha. Ora pincang, ora njomplang botsih kang marakake serik drengki, ora kok terus dadi mungsuh. Allah wis nyiptakake sakathahe manungsa, ora tau ana sing padha, ya rupane, atine, klompoke, kapercayane. Ana sing lanang, ana sing wadon. Kabeh sarwa beda. Yen digelar alami manut kersane Allah dadi harmonis pepasangan ngrenggani enadahe jagad. Nanging yen beda kuwi dimasalahke kudu diseragamake, kudu kabeh dipadhakake, upama kabeh bangsa sadonya kuwi kulite kudu putih kabeh, kabudhayane kudu padha, basane kudu mung sawiji, kuwi kudu kersane Allah, donya dadi neraka “.
4). Novel iki nenthang acara televisi sing ora ndhidhik babarblas
Ana ing pacelathone Lirih karo Abrit : “ Kerja ya kerja, aja ndremimil. Mbokmenawa sutradhara mengko mbutuhake peran wong wadon ndesa kang nuambutgawe abot, nanging terus diperkosa majikane, dakkira kowe cocog “.
“ Rak sudik. Aku emoh main film. Aku gething karo apa sing dipitontonake ing sinetron. Solahe wong deksiya apa ora waleh ta, para sutradhara kuwi ngleler adegan solah bawane wong brangasan nyiksa wong liya? Sing brangasan, elek atine, nanging digdaya, menang, akeh akale, deksiya banget; sing apik atine, wedok ayu, dadi kurban, disiya-siya, ora duwe daya, bodho. Bisane males mung anane keajaiban, rak gemang yen urip ana Indonesia iki pancen kebak munasika kaya mengkono? Mbok coba, urun ndhidhik putra bangsa, nyipta lakon lan adegan harmonis, lucu, cerdas” Lirih maoni kanthi ngeyel.”
Kekirangan Novel :
Menurut kula kekirangan novel iki akeh banget kadosta :
1). Critane nggantung dadi pemaos kudu nebak-nebak pungkase crita kudu piye
Ana ing pacelathone Luhur karo ibune :
“ Alah kuwi gampang banget kok Bu. Aku ora bakal kawin karo Abrit kaet biyen aku ya wis ora seneng kok.”
“ La terus? La terus? Dhuwit sing telung milyar kuwi ?”
“ Ya ben ditanggung dhewe!
2). Angel anggone nebak sudut pandang penokohan sebabe ora ana panjelasan kawiwitan tembung aku, dheweke, tapi langsung jenengan paragane
“ Ing surat kabar dipasang gambare ngegla, Abrit Mayamaya karo dheweke, Luhur Dirgantara. Ing latar mburi sanajan bureng, ora fokus, katon fotone ibu lan bapake. Kuwi genah potret sing dicepret dhek wingi, ing ruwang Dhirektur Pratama kantor bale Prodhuksi Manahira Adsvertising Agency. “ Acara gendheng-gendhengan!
3). Akeh kalimat sing mbingungake para maos
Yaiku pangucape Luhur : “ Buu... Iki gambar pawarta apa, ta? Wartawane kok usil timen? Dibacutake tulisan : “ Wis kulina, esuk umun-umun, Arum Satuhu wis uwet ing pawon , nyiapake sarapan kanggo sing padha arep lunga ngantor. Krungu dibengoki anake, gage nggawa susu segelas “.
4). Teknik jenenge para paragane adoh saka kasunyatan
Kadosta: Abrit Mayamaya ( Abritawarni ), Luhur Dirgantara, Arum Satuhu, Bu Kinyis, Trengginas, Langit Nilakandhi, Lirih Nagari, Madusari, Pikoleh, Maniking, Srinawang, Brigjend Bathara Mayamaya, Sakura, Ndaru, Jingga. Yen klompokake Cuma fiktif kaya ing negeri dongeng.
Manfaat: Novel Cintrong Paju-Pat ora mung kanggo hiburan nanging akeh aweh pesan moral kang kudu dituladhani mligine kanggo wanita , aja dadi wanita sing lemah nanging kudu teguh kaya tokoh Lirih Nagari lan kudu nduweni tata krama anggone ngomong karo wong tuwa sing diconthoake dening Bu Kinyis marang anak wedoke Abrit, anggone ngomong karo wong tuwa kudu sopan.
Saran Kanggo Novel :

Cerbung iki bisa luwih nengsemake ati menawa digarap kanthi luwih jembar ing samubarang obyeke. Permainan tembung lan ukara perlu sithik-sithik kopoles ukara geguritan lan ngrembakake gaya bahasa kang njelasake swasana. Upamane swasana kasmaran, gundhah, kesengsem, kangen-kangenan, uga pemberian nama tokoh luwih realis aja kaya ing crita dongeng.