Kesenian adalah salah satu
bagian dari kebudayaan dan merupakan hasil budi daya manusia. Bentuk kesenian
yang ada di Indonesia adalah seni musik, seni lukis, seni drama, seni sastra
dan seni tari. Perwujudan seni yang ada di masyarakat merupakan cermin dari
kepribadian hidup masyarakat. Tinggi rendahnya peradaban suatu bangsa dapat
dilihat dari kebudayaan atau kesenian yang dimilikinya, oleh sebab itu kesenian
sebagai salah satu bagian dari kebudayaan perlu dilestarikan dan
dikembangkan.
Banyumas sebagai salah satu
bagian wilayah propinsi Jawa Tengah, memiliki berbagai macam budaya, adat
istiadat, dialek, makanan tradisional dan kesenian yang menarik, hal tersebut
dikarenakan letak geografis Banyumas yang berada pada perbatasan dua etnis yang
berbeda yaitu masyarakat Jawa Barat dengan etnik Sunda. Kesenian khas Banyumas
tersebar di seluruh daerah-daerah sekitar Banyumans seperti di Purwokerto,
Cilacap, Banjarnegara, Purbalingga, Gombong, Wonosobo, Kebumen, Purworejo,
Kulon progo, dan Magelang. Kesenian-kesenian tersebut pada umumnya merupakan
seni pertunjukan rakyat yang memiliki fungsi- fungsi tertentu berkaitan dengan
kehidupan masyarakat pemiliknya. Kesenian yang berasal dari di daerah Banyumas
antara lain, Aplang, Buncis, Sintren, Angguk, Ebeg atau Jathilan,
Dhames, Baritan, Ujungan, Gamelan Calung, Wayang kulit, Jemblung, Begalan, Aksi
muda, Rodat, Dhaeng, Sintren, Ronggeng, Ketoprak, Dagelan, dan Lengger
Calung.
Ebeg merupakan
salah satu kesenian yang banyak berkembang di daerah Jawa Tengah, khususnya
bagian selatan hingga barat seperti Banyumas, Purbalingga, Cilacap, dan
Kebumen. Ebeg merupakan jenis tarian yang bercerita mengenai
kegiatan latihan perang para prajurit berkuda pada jaman dahulu dan memiliki
ciri khas yaitu menggunakan kuda kepang sebagai alat tariannya. Dalam satu
grup ebeg, biasanya terdiri dari 5 hingga 8 orang pemain dan
diiringi oleh gamelan lengkap dengan perangkat-perangkatnya yang lazim disebutbendhe.
Menurut beberapa sumber, tarian ebeg ini sudah mulai
berkembang sejak zaman Pangeran Diponegoro. Tarian ini berupa dukungan rakyat
jelata terhadap Pangeran Diponegoro dalam melawan penjajah Belanda. Tarian ini
biasanya terdiri dari empat fragmen, yaitu dua kali tarian buto lawas, tarian
senterewe, dan tarian begon putri. Tarian ini tidak memerlukan koreografi
khusus, tetapi penarinya harus bergerak kompak. Sang penari dapat bergerak
bebas mengikuti alunan musik gamelan.Walaupun seringkali dikaitkan dengan
hal-hal yang bersifat magis dan ekstrem, namun pada intinya tarian ini memberi
pesan yang sangat baik yaitu biasanya berisikan imbauan kepada manusia agar
senantiasa melakukan kebaikan dan ingat dengan Sang Pencipta.
Kelincahan para penari
merupakan simbol semangat dan kekuatan para nenek moyang kita dahulu. Di dalam
suatu sajian Ebeg akan melalui satu adegan yang unik yang
biasanya di tempatkan di tengah pertunjukan. Atraksi tersebut sebagaimana di
kenal dalam bahasa Banyumasan dengan istilah mendhem. Pemain akan
kesurupan seperti halnya makan belingatau pecahan kaca, makan
dedaunan yang belum matang, makan daging ayam yang masih hidup, berlagak sepeti
monyet, ular, dan sebagainya.
Ebeg termasuk
kesenian yang tergolong cukup diperhitungkan dalam hal umur. Diperkirakan
kesenian jenis ini sudah ada sejak zaman animisme dan dinamisme. Salah satu
bukti yang menguatkan Ebeg dalam jajaran kesenian tua adalah
adanya bentuk-bentuk intrans atau wuru. Bentuk-bentuk kesenian ini merupakan
ciri dari kesenian yang terlahir pada zaman animisme dan dinamisme.
Dalam kegiatan ebeg memerlukan
banyak persiapan dalam hal perlengkapan maupun kesiapan fisik dan mental para
pemain. Acara biasanya di mulai setelah waktu sholat duhur atau sekitar jam 1
siang sampai jam 5 sore. Peralatan yang perlu dipersiapkan sepertiGendhing pengiring
yang dipergunakan antara lain kendang, saron, kenong, gong, dan
terompet. Selain gendhing dan tari, ada juga ubarampe yang
harus disediakan seperti bunga-bungaan, pisang raja dan pisang mas, kelapa muda
(degan), jajanan pasar, dan lainnya. Untuk mengiringi tarian ini selalu
digunakan lagu-lagu irama Banyumasan sepertiricik-ricik, gudril, blendrong,
lung gadung, cebonan, dan sebagainya.
Jumlah penari biasanya 8 orang
dua diantaranya penthul-tembem, satu orang sebagai pemimpin ataudalang dan
7 orang lagi sebagai penabuh gamelan. Dan satu grup ebeg biasanya
terdiri dari 15 orang atau lebih. Semua penari menggunakan alat bantu ebeg dan
si penthul-tembem memakai topeng. Tarian ini termasuk tarian
missal, jadi biasanya tarian ebeg dilakukan di tempat luas
seperti lapangan ataupun pelataran rumah yang cukup luas.
Ketika para penari mulai
kesurupan atau yang dikenal dengan mendhem. Pada saatmendhem,
para penari sedang dirasuki oleh indhang. Indhang adalah
roh halus yang dapat merasuki orang dan memberikan kekuatan tertentu kepada
orang tersebut sehingga ia dapat mencapai suatu tindakan yang melebihi
kemampuan manusiawinya. Adanya Indhang dalam kesenian ini
merupakan mitos masyarakat Banyumas. Mitos merupakan sebuah keyakinan,
kepercayaan yang ada dalam kehidupan masyarakat dan sebagai hasil kebudayaan
yang mentradisi sejak zaman dahulu sampai sekarang.
Pada babak ebeg-ebegan,
indhang yang datang bukanlah indhang yang baik,
tetapiindhang jahat/brangasan sehingga penari ebeg yang
telah kerasukan indhang akan mencapai keadaan trance yang
membuatnya mampu melakukan hal-hal yang tidak masuk akal, misalnya: memakan
pecahan kaca tanpa terluka, memegang bara api tanpa menjadi terbakar, duduk
dengan menggunakan pisau tetapi tidak terluka, dan ada yang mengajak berkelahi
penonton apabila indhang yang masuk
merupakan indhang yang jahat dan memiliki dendam dengan
seseorang sewaktu hidupnya. Gerak para penari yang sudah kerasukan indhang sangat
berbeda dengan gerak penari lainnya. Para penari yang tranceatau mendem (ndadi)
mereka sudah memiliki kekuatan, stamina yang lebih bahkan mampu melakukan
kegiatan di luar jangkauan manusia biasa. Mereka makan kaca/beling, bara api,
padi, bunga, kreweng atau pecahan genting dan makan ayam hidup-hidup.
Untuk mendapatkan indhang para
penari ebeg harus melakukan ritus. Keberadaanindhang yang
merasuki penari ebeg sebagai kekuatan yang berasal dari alam
lain membuat para penari melakukan cara-cara khusus untuk mendapatkannya.
Penari yang memperolehIndhang harus melakukan laku tirakat. Laku
tirakat adalah menjalankan sikap-sikap hidup sederhana dalam arti yang
sesungguhnya, hidup bersih dan melakukan berbagai kegiatan upacara yang
meningkatkan kemampuan untuk berkonsentrasi dengan jalan pengendalian diri, dan
melakukan berbagai latihan semedi. Dalam hal ini, biasanya penari ebeg harus
melakukan puasa weton atau puasa hari lahir, puasa
Senin-Kamis, dan bersemedi dipetilasan Brawijaya.
Di samping Indhang manusia,
danyang Brawijaya sering memberikan indhang binatang, seperti
kuda, buaya, dan monyet. Seorang penari yang kerasukan indhang kuda
menunjukkan perilaku yang mirip dengan kuda seperti melompat-lompat, meringkik,
menyepak-nyepak sambil mengibaskan ebegnya, memakan makanan yang
biasa dimakan kuda yaitu bekatul, beras, bunga kantil, bunga melati, daun
papaya, dan rumput yang ada di sekitar pemain atau sengaja disediakan. Kalau
belum tersedia biasanya penari yang sedangtrance akan meminta
melalui pawangnya.
Penari yang kerasukan indhang monyet
biasanya akan melepaskan property ebeg yang dipakai. Penari
bergerak, bersuara, dan berteriak-teriak sambil meperlihatkan giginya, memanjat
pohon, memetik buahnya, memakan buah sambil bergelantungan di pohon seperti
yang dilakukan monyet. Penari juga dapat mengupas kelapa dengan giginya,
memecahkannya dan memakan buah kelapa tanpa alat bantu yang lain. Penari yang
sudah kerasukan indhangbuaya akan bergerak layaknya seekor buaya.
Penari akan berguling-guling di tanah, merangkak sambil meliuk-liuk, meminum
air, dan memakan makanan yang layaknya dimakan buaya.
Dalam ebeg, saat
para penari mendhem menunjukan kakuatan satria, demikian pula
pemain yang menaiki kuda kepang menggambarkan kegagahan prajurit berkuda dengan
segala atraksinya. Biasanya dalam pertunjukan ebeg dilengkapi
dengan atraksi barongan, penthul dan cepet. Tidak jarang penonton ikut terbawa
dengan atraksi tersebut. Secara tidak sadar, beberapa penonton akan mengikuti
gerakan dari si penari kuda lumping, ikut menari bersama penari kuda
lumping lainnya. Hal tersebut karena mereka dari penonton telah terkena roh
penari kuda lumping.
Semua penari yang
kerasukan Indhang akan bergerak dan menunjukkan aksinya dalam
waktu yang tidak sama. Proses penyembuhan dari trance dilakukan
oleh pawang dengan cara memberikan air putih yang sudah diberi mantra kepada
penari yang sedang trance dan penari memberikan bisikan kepada
pawangnya atau penari lain untuk menyediakan syarat yang diminta oleh indhang. Setelah
syarat dipenuhi maka penari dipegang ubun-ubunnya dan dibisiki mantra-mantra,
ditiup ubun-ubunnya. Penari yang sudah disembuhkan akan terjatuh dan tidak
sadar selama beberapa menit sampai indhang yang ada dalam
tubuhnya menghilang atau kembali ke alamnya. Proses penyembuhan oleh pawang
tidak selamanya mulus ada yang indhang tidak mau pergi
dari tubuh penari sebelum disembuhkan dengan cara khusus, yakni meminta kepada
pawang untuk ditidurkan di atas dua buah alat penumbuk padi atau dalam bahasa
jawa disebut alu, kemudian ditutup dengan kain diangkat oleh
beberapa orang dibawa berputar-putar baru diletakkan di atas tanah, didiamkan
sampaiindhang tersebut pergi, penari akan sadarkan diri dan membuka
kain itu sendiri kemudian berdiri seperti tidak terjadi apa-apa dalam dirinya.
Seiring dengan perkembangan
jaman, kesenian ebeg mulai jarang ditemukan. Banyak kesenian
modern yang dinilai lebih menghibur oleh masyarakat dibandingkan dengan
kesenian tradisional seperti ebeg yang kaya akan nilai budaya.
Di Cilacap, ada salah satu grup ebegyang masih bertahan di
tengah era globalisasi. Grup ebeg tersebut bernama Grup
Kesenian Ebeg Sekar Lathi yang berasal dari Jalan Ganggeng RT 1 RW 9, Kelurahan
Mertasinga, Kecamatan Cilacap Utara, Kabupaten Cilacap. Grup ebeg ini
dibentuk pada tahun 1992 atas prakarsa Sujadi Mijan bersama tiga warga lain
yaitu Suyatno, Sukiwan, dan Tarwin. Alasan mereka mendirikan grup ebeg adalah
karena pada satu itu tidak ada kesenian daerah yang eksis dari daerah tempat
tinggal mereka. Grup ini sempat vakum dan baru aktif kembali pada tahun 2009
dengan ketua baru yang bernama Minulyoko. Di bawah kendali pemimpin baru, tahun
2011 Sekar Lathi menyabet juara dua saat perayaan Hari Jadi Kabupaten Cilacap
dan mendapat penghargaan juara pertama atau penampil terbaik dalam ajang
Cilacap Anti Corruption Cilacap Fest 2012 yang diselenggarakan di Lokawisata
Benteng Pendem Cilacap. Bersahaja, disiplin, dan kompak adalah hal yang wajib
dijunjung tinggi oleh semua personel. Sejak awal dibentuk, pertunjukan yang
dibawakan oleh Sekar Lathi selalu mengacu pada pakem kesenian ebeg jaman
dulu. Semua proses dalam tiga babak pertunjukan juga masih sangat tradisional
dan klasik.
infonya sangat membantu sekali thanks kak
ReplyDeletecasing sosis yang bisa dimakan